My Second Pregnancy (Bag.1)

Hola!

Banyak orang yang kaget kenapa perut saya buncit lagi, hehehe..

Tiga bulan setelah melahirkan anak pertama saya, Chaka (silakan lihat di postingan saya sebelumnya), saya kembali B.U.N.T.I.N.G! Yes, orang-orang bilang ini hasil jalan-jalan saya sama suami sebulan lebih di Eropa di bulan Mei-Juni lalu (next time saya post soal liburan ini ya, hehehehe).

Padahal secara medis, saya hamil dari sebelum saya terbang, tapi mungkin bibitnya baru matang di Eropa (lumayan, hawanya lebih bagus dan saya stress free di sana). Uhukkk..

Begini, intinyaaaa kali ini saya mau sharing soal perbedaan persiapan di kehamilan pertama dan kedua saya. Ini mungkin banget berguna buat kamu juga yang sedang hamil. 🙂

Karena saya benar-benar TRAUMA sama yang namanya melahirkan normal dulu dan saat itu mental dan badan saya tidak siap, jadi otot-otot saya pun dulu menegang. Proses lahirannya pun lama sekali (sampai 15 jam setelah diinduksi).

Nahh, di kehamilan kali ini yang sudah berusia 15 minggu, perbedaannya adalah…

  1. OLAHRAGA
    Saya nggak mau lagi deh ngerasain yang namanya super menderita karena nggak bisa berdamai dengan kontraksi. Sekarang saya combine berenang dan prenatal yoga seminggu tiga kali sejak bulan pertama kehamilan. Olahraganya cukup 30 menit saja, karena lebih dari itu, badan sangat lelah karena energi ibu hamil terkuras lebih banyak.Ini beberapa link prenatal yoga di Youtube yang suka saya ikuti :
    https://www.youtube.com/watch?v=btVp5F7HOfo
    https://www.youtube.com/watch?v=pH6IrhTjdR0
    https://www.youtube.com/watch?v=L2owoQWaD5g
    https://www.youtube.com/watch?v=q5nyrD4eM64&list=PLpVwu7XseypsIQ8dXnDo4poXYsOoD97zP

    Ingat ya, sesuaikan jenis yoga sama usia kandungan, dan kalau ragu bagaimana bergerak dengan benar, konsultasikan dulu dengan instruktur yoga.

  2. HYPNOBIRTHING
    Nggak tahu teknik hypnobirthing ini memberi efek atau nggak, tapi banyak orang yang mempraktekkan ini merasa kontraksinya lebih ringan. Malah, saya pernah mengobrol sama sesama pasien yang dua kali melahirkan, eh malah nanya ke saya gimana rasanya kontraksi. Trus dalam hati saya saya bilang “lha kan situ yang lebih sering ngelahirin, kok nanyanya ke sini?”Trus dia menjelaskan kalau dia sering mendengarkan hypnobirthing lewat CD. Dia juga nggak tahu apakah itu efek dari hypnobirthing. Jadi ya, selama itu positif saya coba saja dengan membeli buku “Melahirkan Tanpa Rasa Sakit dengan Hypnobirthing” oleh Lanny Kuswandi.
  3. VERY HEALTHY LIFESTYLE
    Itu pesan dari dokter Stella Shirley di RS Mitra Keluarga yang menangani saya sejak kehamilan pertama. Kali ini, dia bilang saya harus lebih sehat lagi pola makannya. Minum banyak jus, makan dengan porsi lebih banyak, nggak boleh jajanan pinggir jalan, Indomie, dll, yang menyesatkan (tapi enak huhuhu).Jadilah suami saya baweeeeel sekali menjaga pola makan saya. Dulu Indomie sesuap masih bisa makan sekali-kali. Sekarang jangan harap bisa. Saya sampai mohon-mohon minta kunyah Indomie goreng sedikit aja lalu saya lepeh, itu pun nggak dikasih, hiks..

    Bedanya lagi, di kehamilan pertama saya dulu, saya sempat stress dan banyak sekali pekerjaan di trimester pertama. Padahal, itu masa krusial di mana janin bertumbuh organ-organnya, jadi perasaan dan fisik ibu harus benar-benar dijaga.

    Nah, dulu waktu saya sibuk dan nggak punya waktu makan dengan benar, saya suka goreng ma-ling kalengan. Saya pikir nggak apa-apa toh jarang makan beginian.. 
    Beberapa kali saya makan, saya mikirnya begitu terus.. Lama-lama nggak sadar jadi sering cuek sama pola makan.

  4. STRESS MANAGEMENT
    Nah, faktor keempat ini yang juga nggak kalah penting. Dulu di kehamilan pertama, saya sering sekali menghadapi rasa stress. Stress di pekerjaan, stress di rumah, stress ngurus pembantu, stress ditinggal mama ke Jerman, dan masih banyak lagi. Rasa stress dilawan dengan bekerja terus, menahan lapar sampai muntah-muntah, banyak pikiran juga, pokoknya nggak mikirin diri sendiri deh.Nah, sekarang saya sudah sangat aware dengan itu semua. Sudah belajar dari pengalaman dan berkat mengobrol plus konsultasi sama orang-orang. Jadi stressnya sekarang saya manage. Salah satu contohnya, kalau memang lingkungan sekitar saya bikin stress, ya hindari saja. Kalau ada orang yang negatif auranya, selalu mengeluh sampai saya menyerap semua negatifnya dan jadi ikutan kesal.. Ya saya jauhi. Ini demi baby kita kok, kita yang tahu batas kesabaran dan kondisi psikis kita. Lagi pula, menghindari lingkungan negatif untuk sementara, bukan berarti kabur dari kenyataan kan? 😉

    Sekian dulu ya sharing kali ini, sebenarnya masih banyaaak yang bisa dibagi. Next time ya! Semoga berguna bagi siapa pun yang membaca, terima kasih! 🙂

xoxo,

f

 

 

Sepercik Cerita Kehamilan (Bag.3)

Hmm.. Sudah hampir 100 hari setelah saya melahirkan Chaka. And I feel soo good now. 🙂

Oke, saya mau menyambung cerita lagi, di hari saya melahirkan. Sekarang nulisnya nggak pakai nangis-nangis lagi, tapi dengan perasaan happy di tengah kesejukan udara 6 derajat celcius di Kempten, Jerman. Sekarang ini di depan saya ada ponakan saya yang lagi menikmati Yoghurt cokelatnya, pakai baju tiga lapis ditambah jaket pink bergambar kucing. Sesekali dia gangguin dan mengintip apa yang saya tulis. I’ll never forget this moment. 😀

Back then, di tanggal 10 Februari 2016 lalu, sekitar jam 9 pagi saya tiba di RS Mitra Keluarga. Menunggu dengan penuh kecemasan, ditemani suami, mama, dan mama mertua. Masuk ke kamar  bersalin, dan para suster berjalan hilir mudik, sibuk mempersiapkan kelahiran orang-orang.

Tak ada ruangan kosong untuk saya, akhirnya saya disuruh menunggu di salah satu kamar kelas dua. Lalu, dokter Stella meminta saya ke ruangan prakteknya untuk mulai diinduksi. Saat itu jam setengah satu siang.

Vagina saya dimasukkan semacam balon karet, lalu diisi air steril sampai balonnya mengembang di dalam tubuh saya. Tujuannya supaya jalan lahirnya membesar dan bayi bisa keluar.

Empat jam kemudian, saya merasakan mulas luar biasa, sampai keringat dingin pun keluar. Bingung, antara sudah waktunya melahirkan atau mau buang air besar. Tapi ternyata setelah pembukaan saya dicek, baru pembukaan 1. Kemudian setelah itu, rasa sakit di perut dan pinggang semakin ekstrem. Saya baru sadar ternyata rasa mulas yang pertama saya rasakan tidak ada apa-apanya setelah saya merasakan sakit yang lebih menyakitkan lagi.

Malam itu saya sudah ditempatkan di kamar bersalin, dan saya tidak bisa tidur sama sekali. Rasa sakit luar biasa yang muncul setiap dua menit, membuat pinggang saya rasanya mau patah. Setiap gerakan saya menjadi salah. Tak ada pose yang membuat rasa sakitnya berkurang. Sekitar tengah malam, pembukaannya masih tingkat dua. Masih ada satu pembukaan lagi yang saya tunggu.

Beberapa kerabat dan keluarga datang menjenguk, saya sudah nggak ada tenaga untuk menyapa mereka. Hanya rintihan yang saya keluarkan. Sampai ruangan bersalin menjadi sunyi sepi, hanya ada suami di samping saya. Ia tak henti-henti mengusap panggul saya supaya bisa mengurangi rasa sakit sedikit saja.

Saking sakitnya, saya muntah-muntah sampai subuh. Padahal sudah tak ada yang bisa dikeluarkan lagi. Sampai bidan datang dan memberi saya infus obat mual. Pembukaan saya baru 2,5. Saya memaksa bidang untuk mengeluarkan balonnya saja dengan paksa, karena saya sudah tidak tahan lagi. Bidan pun menolak, katanya rasa sakitnya akan bertambah bila dikeluarkan paksa.

Jam dinding di depan saya terasa sangat lama. Pergerakan jarumnya setiap detik selalu kuawasi. Setiap dua menit rasa sakit luar biasa itu datang, dan saya hanya bisa tidur di saat sakitnya mereda. Gorden kamar bersalin saya tarik-tarik, dinding entah berapa kali saya tinju. Seprei saya garuk-garuk. Suara teriakan saya di tengah kesunyian memenuhi ruangan bersalin, pastilah bidang dan suster di ruangan lain juga mendengarnya.

Jam lima pagi, suami saya menelepon dokter Stella untuk bilang bahwa saya sudah nggak kuat lagi. Dokter bilang saya harus menunggu sebentar lagi, tahan lagi. Pagi atau siang ini saya pasti sudah melahirkan, begitu katanya.

Saya bilang saya sudah tidak kuat lagi kalau harus menunggu lebih lama. Rasanya sakit sekali, mungkin seperti mau mati. Benar-benar tidak tertahankan waktu itu. Saking sakitnya, air mata pun tidak bisa keluar lagi.

Jam enam tepat, saat bidan datang menengok, saya merasa ada dorongan dari dalam tubuh. Balonnya seperti berjalan ke arah vagina, lalu melompat keluar seperti bola ditendang.

Ah.. Seorang bayi mungil masih terbungkus rapi di dalam selaput perlahan-lahan keluar dari tubuh saya. Bocah itu tidur sembari meringkuk. Warna kulitnya transparan kemerahan, dan urat-urat halusnya masih nampak. Ia tidur nyenyak di antara himpitan ari-ari, mungkin ia kira itu bantal gulingnya.

Chaka tidak membuka mata. Ia terus tertidur dengan kedua mata yang seperti dipahat. Alis tipisnya, hidung, bibir, telinga, pusar, penis.. Semuanya lengkap, seperti habis dipahat oleh seorang seniman, tapi belum sempat dipoles lagi.

Hari itu saya tidak merasakan sedih atau depresi seperti yang saya bayangkan. Mungkin karena terlampau lelah dan sakit. Mama mertua saya meminta saya berjanji untuk tidak menangis lagi, karena Chaka sudah berbaur di alam semesta. Semakin saya menangis, Chaka pun akan sulit melepas saya.

Enam jam kemudian, saya diizinkan pulang. Tubuh saya cukup fit, tidak lemas seperti orang melahirkan. Saya malah mengurus sendiri administrasi dan pembayaran. Suami dan mertua saya pergi membawa Chaka untuk dimakamkan. Sedangkan saya dan mama pulang naik uber.

Lucunya, supir Uber menanyakan saya dengan polosnya, apakah saya ke rumah sakit untuk mengantar mama saya checkup. Dia terbengong-bengong saat saya bilang baru saja melahirkan. Hahahaha, dia bingung karena saya berjalan cepat seperti orang sehat.

Begitulah kira-kira cerita saya setelah melahirkan. Semua berlangsung cepat, asalkan kita bertekad untuk tidak mau terus terpuruk.

Sedih pasti. Saya pun menangis keesokan harinya, saat saya terbangun tidur dan mendapati tidak ada bayi lagi di dalam perut saya. Saya merasa kehilangan sekaligus bahagia. Chaka mendapat tempat yang baik di alam semesta, dan saya yakin ia akan terlahir kembali dengan kehidupan yang lebih bahagia sebagai manusia.

Mau tahu apa yang saya petik dari pengalaman ini? Apapun yang terjadi, percayalah dengan dokter yang bisa membuat kita nyaman, dan terus berdoa agar semua proses berjalan dengan lancar. Saya pun merasa beruntung karena melahirkan dengan rapi, dalam arti semua ari-ari keluar tanpa sisa di dalam rahim. Karena kalau ada sisa, saya harus dikuret lagi setelah melahirkan.

Setelah melahirkan, berusahalah untuk move on. Hmm, ya bagian ini memang sangat sulit. Apalagi saya harus menjalani chinese recovery; makan ayam arak, minum racikan herbal, tidak boleh keluar rumah dan keramas selama sebulan. Sudah menderita begitu, tidak ada bayinya.

Saya yang terbiasa bekerja dan pergi meeting sana-sini harus diam mendekam di rumah. Rasanya hampa sekali, dan setiap hari mengirimi SMS ke suami, bertanya jam berapa pulang ke rumah.

Kegiatan saya setiap hari adalah membaca-baca artikel medis mengenai sindrom polikistik yang Chaka alami. Lalu membaca forum soal ibu hamil, dan bagaimana cara supaya cepat hamil lagi. Ahhhh.. Sulit sekali masa-masa itu.

 

Tapi, semua ini memang harus dilalui. Tak ada penyebab secara medis ataupun keturunan. Memang ini karma hidup saya. Maka itu, saya akan lebih giat membuat karma baik, sehingga kehidupan saya pun lebih baik dengan kehamilan yang lancar di masa depan. Saya pun mulai bekerja lagi dengan normal. Mengurus usaha homebaked saya Oma Omi Recipe. Mengurus pekerjaan menulis saya lagi.

Lalu, tepat sebulan setelah saya recovery, saya terkena campak. Seminggu saya bedrest dengan wajah buruk rupa. Hahaha, ini risiko karena tidak betah dikarantina. Saya beberapa kali keluar rumah di masa recovery. Yah, ditertawakan saja ‘kesialan’ ini. Semua harus dibawa dengan happy.

Sekarang, saya sedang berlibur di rumah kakak saya di Jerman. Bersama suami, sebulan ini kami refreshing, keliling Eropa, sembari menjalani program hamil. Sepulang ini, sudah banyak pekerjaan menunggu saya.

Fase kehidupan tahun ini bagi saya ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Awalnya seperti ditembak bertubi-tubi dengan kesialan, dan setelah saya kuat menghadapinya, hal-hal yang membawa kebahagiaan pun datang untuk saya.

Siapa tahu, sepulang dari Eropa bulan Juni nanti, saya sudah isi lagi. We’ll see 🙂

Anywayyy… Saya berharap kisah ini dapat berguna untuk para perempuan yang mengalami masalah serupa (atau lainnya) selama mengandung. Don’t let this make you down. Lalui pelan-pelan bersama suami, maju terus dan hadapi dengan tenang. Tetap semangat, ya!

 

salam,

faye

 

 

Sepercik Cerita Kehamilan (bag.2)

 

Strong quote

Akhirnya saya berani melanjutkan menulis kisah kehamilan saya. Isinya tentu sangat berbeda dengan tulisan saya di Sepercik Cerita Kehamilan bagian satu. Berbeda kisah, berbeda suasana hati, berbeda hasil.

Saya menulis kisah ini semata-mata agar bisa menjadi informasi berguna dan membantu membangkitkan semangat para perempuan yang sedang hamil, berjuang untuk bayi mungil di perutnya, atau divonis dengan permasalahan serupa dengan saya. Biar mereka juga tahu, bahwa mereka tidak terpuruk sendirian, tapi ada orang lain yang merangkai kata-kata di sini, juga pernah kehilangan anaknya dan berada di titik terendah dalam hidupnya.

2 Januari 2016

Satu hari setelah saya menanam tekad dan harapan untuk sepanjang tahun 2016, saya malah disambar petir. Hari itu saya memeriksakan kandungan rutin, saat itu usia kandungan saya 14 minggu. Kemudian tampak di layar USG, air ketuban saya berkurang drastis. Air ketuban di bagian muka baby masih ada, tapi di bagian perut ke bawah semakin sedikit. Dokter kandungan saya di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, dr Stella Shirley Mansur, berasumsi saya dehidrasi dan menyarankan saya untuk banyak minum, paling sedikit dua liter per hari.

“Kalau nggak ada air ketuban, baby nggak bisa bergerak dan terhambat pertumbuhannya,tulangnya jadi kontraktur,” kata dr Stella. Mendengar kata ‘pertumbuhan terhambat’, saya mulai takut. Tapi katanya harus berpikir positif. Ok, saya coba untuk positive thinking.

Saat itu memang saya beranggapan saya dehidrasi, karena kelelahan bekerja dan kurang minum di bulan Desember sebelumnya. Sejak itu tak hanya dua liter air saya tenggak, tapi saya minum sekitar 4L air per hari. Saya juga aktif mencari informasi di internet soal pentingnya air ketuban untuk bayi, dan saya juga baru tahu bahwa air ketuban itu berasal dari pipis bayi.

11 Januari 2016

photo (1).JPG

Saya mempercepat waktu kontrol kandungan, karena rencananya tanggal 14 Januari saya akan terbang ke Makassar untuk menghadiri pernikahan kakak ipar saya. Dengan perasaan optimis (karena yakin air ketuban sudah banyak sekarang), saya siap di-USG. Dr Stella yang biasanya selalu ceria, ekspresinya agak tegang saat memeriksa saya. “Air ketuban kamu semakin sedikit, harus dirawat malam ini, Faye.”

Energi positif saya langsung susut ke titik nol. Niat ke Makassar hilang sudah. Saya harus dirawat, karena menurut dr Stella, ada kemungkinan saya menderita Antiphospholipid Syndrome (Autoimune atau Lupus) bawaan, sehingga antibodi tubuh saya kuat dan menyerang bayi. Itu baru kemungkinan pertama. Kemungkinan kedua adalah.. ginjal baby saya bermasalah, dan itu tidak ada pertolongannya.

Saat suami saya, Edwin, mendaftarkan kamar opname, saya sudah tidak bisa menahan tangis. Saya sedari kecil paling anti menangis depan umum, tapi saat itu tidak bisa ditahan lagi. Suami saya itu hanya bisa bilang agar saya tidak berpikir macam-macam dulu. Sekali lagi saya mencoba positif.

Begitu sampai di kamar, darah saya langsung diambil beberapa kali untuk beberapa pemeriksaan. Saya dirujuk ke dokter darah di RS yang sama, dr Cosphiadi. Hasil tes pertama menunjukkan darah saya kental, sehingga ada kemungkinan menderita autoimun. Kalau memang benar autoimun, saya harus disuntik di bagian perut setiap hari sampai bulan ke-8. Saya pikir, saya yang paling takut sama jarum suntik, lebih memilih autoimun, karena baby masih bisa diselamatkan. Tapi kalau ginjal baby yang bermasalah… Arrghhh.. (susah sekali buat berpikir positif saat itu).

Saya dan Edwin hanya bisa berdoa, membisikkan kata-kata cinta untuk baby. Keluarga sudah mulai khawatir, dan saya juga dibuat bosan dan stres menunggu sampai malam, sampai dilakukan USG 4D untuk melihat organ baby saya.

Akhirnya pada pk 20.30, saya diboyong dengan kursi roda menuju ruang dokter fetomaternal. Selama dokter melakukan USG, mimik wajahnya datar, kemudian berubah serius. Lalu ia memeriksa sambil satu tangannya memegang dagunya. Saya semakin gemetaran (ya, saya kalau stres bisa gemetaran hebat), ciut dan sedih saat itu, sambil menunggu dokternya membuka suara.

“Nggak ada arus darah ke ginjal baby. Kemungkinan besar ginjal bayinya disfungsi,” kata dokter.

Jdarr.

Saya hanya bisa melihat layar USG, dokter dan Edwin bergantian.

“Jadi nggak bisa diapa-apain ya, Dok?” saya sampai lupa Edwin atau saya yang bertanya.

“Ya, harus dilahirkan,” kata dokter lagi.

Dokter Stella tiba-tiba masuk ruangan, dan ikut bertanya-tanya ke dokter. Si dokter jadi agak ragu, dan meminta saya untuk USG 4D ulang tiga minggu lagi, agar masalahnya benar-benar jelas. Saya diminta balik ke kamar dengan kursi roda. Saya hanya bisa menatap dr Stella dengan memelas, “dokter Stella.. Ini bagaimana?”

“Tenang dulu. Ntar kita ngobrol di kamar ya.”

Begitu sampai kamar, air mata saya meluber.. Saya minta maaf sama baby, karena saya merasa sangat bersalah. Saya jadi menyalahkan diri saya, merasa bangsat sekali nggak bisa jaga baby saya sendiri. Edwin sudah tidak bisa meminta saya lagi berpikir positif. Karena saat itu saya merasa yang positif sama sekali tidak terjadi. Kami cuma bisa berdoa dan mengajak ngobrol baby, selagi masih bisa.

Sudah lama saya tidak menangis sampai tertidur seperti hari itu..

Lalu pukul dua pagi, dr Stella datang ke kamar dan membangunkan saya. Ia bilang masih agak sangsi dengan hasil USG 4D-nya, karena baby masih terlalu muda dan belum tentu ginjalnya bermasalah. Sebaiknya menunggu hasil autoimun saya.

Waktu itu saya diopname sampai tanggal 13 Januari. Salah satu teman saya yang menengok mengusulkan agar saya melakukan USG 4D dengan dokter Bambang Karsono, ketua ahli fetomaternal di Indonesia, yang praktek di RS YPK Mandiri.

Saya jadi ingat cerita teman saya yang lain, yang juga pernah memiliki baby gagal ginjal dalam kandungan. Ia pun memeriksakan kandungan ke dr Bambang.

Hari itu, saya mendaftar ke RS YPK melalui telepon, dan mendapat jadwal dengan dr Bambang paling cepat di tanggal 27 Januari.

Saya pun pulang ke rumah mertua saya dengan perasaan sangat pesimis, psikis lelah, dan fisik lemas. Saya hanya mau tidur dan tidur.

Beberapa hari kemudian, teman-teman saya datang menjenguk. Salah satunya adalah San, teman saya yang bayinya gagal ginjal dalam kandungan itu. Ia dan suaminnya menyemangati saya, bahwa saya tetap harus menjalankan hidup dan happy apapun yang terjadi. Bagaimanapun, saya tidak boleh membuat baby ini menyesal pernah hidup di rahim saya.

Teman-teman yang lain juga menyemangati. Bukan bilang harus banyak istirahat, tapi justru harus terus berkegiatan dan bersemangat. Keluarga, kerabat-kerabat saya dari bapak-bapak, ibu-ibu, tante-tante, sampai yang sebaya semua turut mendoakan saya. Mertua saya tak henti-hentinya bilang kalau bayi ini ada jodoh dengan kita, maka kondisinya harus sehat. Kita harus berdoa untuk yang terbaik bagi baby ini.

Depresi saya semakin menjadi-jadi. Menangis menjadi makanan sehari-hari saya yang tidak bisa dikontrol. Mandi sambil menangis, makan sambil menangis, baca buku sambil menangis, apapun sambil menangis. Saya merasa jadi orang paling idiot, lemah, cengeng, dan tidak layak menjadi ibu yang baik untuk baby saya.

Tapi layaknya ibu hamil lainnya, saya setiap detik menunggu first kick dari baby saya. Dalam sehari, bisa puluhan kali saya memegang perut dan berharap merasakan gerakan baby. Saat tidur terlelap, saya bisa bangun dalam sekejap untuk merasakan apakah ada tendangan, pukulan, atau gesekan kecil dari dalam perut. Saya berharap kesunyian tengah malam akan lebih membuat gerakan baby terasa.

Betapa bahagianya ketika dari beberapa sisi perut saya terasa getaran konstan selama beberapa detik, lalu menghilang, lalu muncul lagi. Kadang di sisi kiri, kanan, bawah, atas. Ah, apakah itu gerakan baby? Rasanya iya, si baby sudah bisa bergerak! Berarti, air ketubannya sudah banyak. Perasaan overjoyed ini saya ungkapkan pada keluarga, bahwa baby sudah bisa bergerak aktif. Entah karena saya yakin baby bergerak, atau karena berusaha menghibur keluarga dan suami yang mengharapkan kehadiran anggota keluarga baru.

Depresi saya berkurang, lalu sekejap muncul lagi. Mungkin ini yang disebut hormonal ibu hamil. Begitu perut terasa dicolek dari dalam, saya girang lagi. Lalu kembali menangis dan tangan saya sibuk membangunkan baby ketika ia kembali tidur.

Ternyata, hari-hari itulah masa terakhir saya mengharapkan gerakan baby.

22 Januari 2016

Pihak RS menelepon saya dan memberitahu bahwa hasil tes darah autoimun saya sudah keluar. Malam itu saya langsung mengambil hasilnya dan berkonsultasi dengan dr Cosphiadi. Hasilnya, darah saya semakin kental, tapi bukan autoimun atau lupus. Dokter bilang, darah saya kental tapi tidak ada sangkut pautnya dengan air ketuban.

Oke, perasaan negatif saya semakin menajam.

Kata Edwin, untungnya saya bukan autoimun, sehingga tidak perlu disuntik setiap hari.

Saya yang depresi melihat hal itu bukan keberuntungan, malah hal yang negatif. Saya bilang, “Harusnya aku autoimun, jadi aku bisa di-treat dan baby bisa ditolong.”

27 Januari 2016

Mama menemani saya ke dr Bambang. Edwin masih bekerja dan tidak keburu ke RS. Perasaan saya sempat marah sekali karena untuk urusan ini Edwin masih mementingkan pekerjaannya. Saya tutup teleponnya. Tapi muncul setitik kesadaran, saya tidak boleh begitu. Saya tidak boleh melimpahkan rasa depresi ke suami yang sedang bertanggung jawab dengan kliennya, pekerjaannya. Saya harus berani walau tidak ada suami saya di samping saya. Saya lantas mengirim SMS. Oke nggak apa-apa. Aku masuk ruangan dokter dulu ya.

Dokter Bambang dengan rambut putihnya tanpa banyak basa-basi melihat hasil USG 4D saya yang pertama.

“Ini kenapa berantakan gini hasilnya?”

“Iya Dok, karena nggak ada air ketuban jadi hasilnya nggak jelas.”

“Hmm, saya curiga benar-benar ginjal babynya yang bermasalah.”

Dokter Bambang mulai menempelkan alat USG di perut saya. Saya mendapati seorang bayi mungil, meringkuk di ruang sempit tanpa perlawanan.

“Wah, air ketubannya habis sekali.”

“Jadi, benar-benar karena ginjal baby ya Dok?”

“Ini organnya susah sekali dilihat, belum kelihatan ginjalnya.”

Dokter terus memeriksa dengan lama dan teliti. Sampai ia menemukan apa yang dicari.

Ini ginjalnya, ada beberapa kistik atau gelembung.”

“Kistik? Kista?”

“Iya, kista atau semacam gelembung. Jadi bayi nggak bisa pipis. Tangannya juga nekuk, kepalanya ketindih nggak bisa bergerak.”

“Tapi saya suka merasa ada tendangan dari dalam, Dok.”

“Mana mungkin, ini baby nggak bisa bergerak begini.”

“Jadi, Dok.. harus bagaimana?”

“Yang kamu tahu harus bagaimana?”

“Harus dilahirkan ya.. Dok..?”

“Iya, nggak ada cara lain. Harus diterminasi sesegera mungkin.”

“Kalau diisi air ketuban aja bagaimana, Dok?”

“Percuma, dua hari saja pasti habis lagi.”

“Apa sebabnya ginjal baby saya begini, Dok?”

“Ya, tidak ada sebabnya. Tidak perlu dicari juga.”

“Nanti kalau saya hamil lagi, apa bisa mengalami hal yang sama?”

“Tidak pernah ada kasus terulang. Coba lagi ya di kehamilan kedua.”

Saya membawa pulang hasil pemeriksaan USG 4D dari dr Bambang. Polycystic Bilateral Kidney Disease. Saya tidak bisa menangis, karena saya belum sendirian. Saya tidak mau menitikkan air mata depan mama saya. Jadi mama selalu menyangka saya cukup tegar.

Saya melaporkan hasilnya ke dr Stella melalui Whatsapp. Dan saya memutuskan untuk melahirkan secara normal tanggal 10 Februari, setelah Imlek. Setelah saya menyelesaikan banyak orderan kue Oma Omi.

Sebenarnya, saya mau lebih cepat melahirkan, supaya tidak berlarut-larut dirundung sedih dengan membawa nyawa anak sendiri di dalam tubuh saya yang harus ‘dibunuh’. Tapi saya harus berpikir panjang. Tidak mungkin saya meninggalkan pekerjaan saya. Bisa kacau semuanya. Jadilah saya bekerja dengan depresi yang semakin parah.

Saya tidak lagi mengharapkan gerakan baby. Mungkin yang selama ini saya rasakan gerakan bukan dari baby, tapi otot rahim dan perut saya yang kram.

Saya berpikir, bertanya-tanya dalam hati, dan sulit sekali untuk menerima kenyataan.

Kenapa orang-orang yang tidak menginginkan baby, malah mudah hamil dan babynya sehat?

Kenapa ada orang yang punya anak, tapi tidak mendidik anaknya dengan benar selayaknya orang tua?

Kenapa saya yang menjaga kandungan saya dengan baik, tapi bayi saya malah menderita?

Kenapa saya harus selalu mengalami kegagalan di setiap hal yang pertama kali saya lakukan?

Saya banyak sekali bertanya kenapa, kenapa, dan kenapa, dan terus membandingkan saya dengan orang lain. Selalu mencari alasan untuk membenci diri sendiri. Merasa diri saya yang paling terpuruk.

Hampir setiap malam saya bermimpi tentang bayi. Mimpi melahirkan dan punya bayi tembam, mimpi menggendong bayi, mimpi melahirkan, dan sebagainya.

Di hari-hari menuju melahirkan, saya juga aktif berkonsultasi dalam hal spiritual di vihara, dengan mas Rusdy Rukmarata.

Kalimat pertama yang saya lontarkan adalah “Aku merasa bersalah sama anakku.”

“Bayi di kandungan masih bertumbuh dengan naluri, bukan perasaan. Jadi, ia nggak merasakan sakit yang kamu takuti. Kalau ginjalnya nggak sempurna, berarti nalurinya juga nggak jalan dengan baik. Jadi kamu nggak perlu merasa bersalah.”

Seperti ada sebersit ketenangan dalam diri saya. Baby masih belum bisa merasakan sakit, jadi saya tidak perlu merasa bersalah.

Ya, saya yakin, kalau baby saya sudah bisa memilih, ia pasti memilih untuk kembali ke semesta secepatnya dan lahir kembali di masa depan dengan kehidupan lebih baik.

Mas Rusdy menekankan saya untuk percaya dengan dokter. Selanjutnya, jiwa baby saya harus didoakan supaya bisa terlahir kembali menjadi manusia seutuhnya yang lebih baik.

Sejak itu, saya tidak lagi sering menangis seperti biasanya. Saya justru mengajak ngobrol baby selagi masih ada waktu berdua, menulis surat untuk baby, sampai mencari nama baby dengan suami saya.

Akhirnya, dua hari sebelum jadwal melahirkan, kami memutuskan memberi kesayangan kami dengan nama  Chaka Issai Siswanto.

[Chaka = Kehidupan, Issai = Tidak Terbatas].

Kami berharap kehidupan Chaka tidak terbatas pada masa kali ini saja. Tapi Chaka akan terlahir kembali dengan kehidupan yang lebih baik, kondisi raga yang lebih baik, karma yang lebih baik, dan jodoh ibu yang lebih baik. Harapan kami itu menjadi doa saya setiap harinya, dan selalu saya jadikan bahan obrolan dengan Chaka.

Ah, ya..

Beberapa hari menjelang persalinan, ada satu kerabat saya, seorang ibu yang bekerja di laboratorium sebuah rumah sakit, menganggap tindakan terminasi yang akan saya lakukan adalah sebuah dosa besar. Ia menyarankan saya untuk mencari dokter lain untuk mengecek, atau cek ke rumah sakit di luar negeri.

Ia menganggap saya mudah menyerah dan konsultasi spiritual yang saya lakukan selama ini tidak dalam. Ia bilang tindakan terminasi bertentangan dengan pro life. Ia sampai meminta saya untuk bergabung dalam komunitas agamanya, agar saya mendapatkan pengetahuan spiritual.

Dalam hati saya tersenyum. Saya berterima kasih ia perhatian sama saya, tapi tidak ada orang yang berhak menilai saya mudah menyerah, kalau ia tidak tahu detail usaha apa yang saya lakukan untuk menyelamatkan baby saya.

(Sekian kisah saya sampai menjelang persalinan. Cerita saat melahirkan dan berada di antara hidup dan mati, akan saya tulis di Sepercik Cerita Kehamilan bagian 3)

— 

Hal-hal yang saya pelajari sampai titik ini:

  • Kita, siapapun, membutuhkan support system yang kuat. Di balik rasa kehilangan dan depresi yang saya alami, saya merasa benar-benar berterima kasih karena sekeliling saya tak henti menyemangati dan percaya bahwa saya bisa melewati ini semua dan bangkit lagi. Support system versi saya bisa datang dari keluarga, teman, saudara, mentor, pemimpin agama, sahabat, suami, bahkan anjing peliharaan. Pokoknya, siapapun yang kita rasa tulus terhadap kita dan yang memiliki cara hidupnya bisa kita jadikan panutan. Ayo, jangan takut untuk berbagi masalah kita dengan orang-orang yang kita percaya bisa menyemangati, bukan mengasihani kita.
  • Carilah dokter kandungan yang memiliki chemistry dengan kita. Dokter hebat banyak, tapi dokter yang benar-benar peduli dan siap 24/7 jarang sekali. Dokter kandungan saya selalu memberikan nomor Whatsapp-nya kepada pasien, sehingga pasien merasa tenang karena selalu bisa bertanya kepada dokter kapan saja. Dokter saya selalu mengangkat telepon subuh-subuh dan menjawab Whatsapp pasien walaupun saat ia merayakan Natal! (nanti saya ceritakan lebih lanjut di Sepercik Cerita Kehamilan bag.3)
  • Berpikir positif itu perlu, bukan hanya untuk mengharapkan hal positif datang. Tapi setidaknya mengurangi rasa depresi. Saya pun sulit sekali untuk berpikir positif. Saya selalu berpikir negatif untuk mempersiapkan diri saya agar tidak kaget saat menerima hasil akhir. Tapi, saya sadar bahwa berpikir negatif atau positif tidak akan mengubah hasilnya tiba-tiba seperti magic di buku cerita anak-anak. Jadi, untuk apa mengisi hari-hari dengan pikiran negatif?
  • Kita tidak boleh mengasihani diri sendiri terus-menerus. Lama-lama, kita jadi ratu lebay. Depresi boleh, tapi harus ditargetkan kapan mau selesai depresinya. Karena itu, butuh keberadaan orang-orang yang mengingatkan kita untuk bangkit. Saya pun tidak menyangka bisa melewati hari-hari lebih baik dari pada yang saya kira. Bukan karena saya mudah move on, tapi saya selalu bertekad dalam hati untuk bangkit.
  • Mendengarkan orang lain itu baik, tapi kita harus menyaring sebagian yang tidak perlu untuk kita. Seperti yang saya sebutkan di atas. Kalau saja saya mendengarkan dan menjalankan saran seorang ibu yang meminta saya mengecek kandungan ke dokter lain, sampai sekarang saya masih depresi dan tidak bisa menerima kenyataan bahwa baby saya tidak bisa diselamatkan.
  • Percayalah, tidak ada seorang pun yang berhak menilai kita mudah menyerah hanya dengan melihat keputusan final kita. Kita yang menjalankan prosesnya, hati kita yang tahu mana yang terbaik untuk baby dan semuanya.

***

 

sebelas februari

photo(2)

selamat pagi, sayang..

lihatkah sinar mentari yang menyerbu masuk mengintip kehadiranmu?

ah, kamu tetap tertidur pulas

di dalam selimut bening yang membungkusmu

 

kamu sangat terjaga

dengan kedua mata terpejam rapat

hidung dan telingamu bagai dipahat

bibir mungilmu seperti kerang sedang berpose

 

selamat pagi, sayang..

hari itu sebelas februari

hari di mana kamu menghirup hawa dunia

dan berbaur dengan semesta

 

aku tahu bahwa kamu tahu

inilah jalan yang sama-sama kita pilih

untuk menggenggam dunia yang lebih baik

di masa yang lebih indah

 

selamat pagi, sayang

aku tahu kamu mendengarkan

saat aku membisiki serangkai doa dan harapan

untuk kamu dan duniamu

 

pergilah, sayang..

hari itu kamu sangat menurut

dengan kepergianmu yang sangat tenang

 

[puisi mama untuk chaka, 16 februari 2016]

 

 

Sepercik Cerita Kehamilan (Bag.1)

Sepercik cerita cupu selama kehamilan..

Sebagai perempuan newbie cupu yang mengalami kehamilan pertama, saya tidak mengalami hal-hal romantis seperti yang diidamkan perempuan sewajarnya. Kisah saya diwarnai oleh kecupuan dan kebodohan,  tapi saya sangat berterima kasih karena saya jadi mengerti setiap fase yang dialami saat hamil. Semoga tulisan ini menjawab kebingungan dan kegalauan perempuan yang sedang hamil. 🙂

Tanggal 5 Oktober, tepatnya jam 4.30 subuh saya terbangun karena diserang rasa mual yang parah. Melompat saya ke kamar mandi lalu muntah dilanjutkan BAB. Curiga hamil, tapi saya nggak mau GR dulu karena malam harinya saya cek pakai testpack. Hasilnya negatif.

Merasa tidak hamil, saya melakukan MRI kepala menggunakan medan elektromagnetik. Padahal saya tidak tahu apakah MRI berbahaya atau tidak untuk kandungan kalau saya benar hamil. (MRI ini perlu tidak perlu, hanya karena saya tipe yang selalu melakukan checkup kesehatan saking parnonya)

Tanggal 16 Oktober, saya merasakan gejala menjelang menstruasi. Sakit perut bagian bawah dan keluar flek. Saya pikir menstruasi saya maju empat hari dari tanggal 20 ke 16. Ternyata, sampai malam pun bulan tak kunjung datang.

Tanggal 20 Oktober, tidak datang bulan juga. Lalu di tanggal 22 Oktober, flek keluar lagi dan saya pikir menstruasi. Ternyata tidak juga. Anyway, hari ini bertepatan dengan ulang tahun saya. Tadinya saya pikir mau melalukan testpack di hari ini, tapi takut kecewa kalau hasilnya negatif.

Tanggal 24 Oktober, saya cek dengan testpack. Yipiiiee! Kali ini benar-benar terjawab rasa GR saya.

Tanggal 26 Oktober, saya cek kandungan ke seorang obgyn perempuan, dr Stella di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading. Sebenarnya, dokter ini adalah alternatif kedua setelah dr Nurwansyah di RS Brawijaya. Awalnya saya tidak yakin dengan dokter kandungan perempuan (karena kalau dokter laki-laki rasanya lebih tenang dan safe). Tapi, pemikiran saya berubah setelah dr Stella mengecek kondisi rahim saya melalui trans-vaginal.

“Kamu flek dan bleeding karena ada polip di mulut rahim. Coba sini suaminya lihat..” Kata dr Stella sambil membuat V saya menganga. 😦

“Kamu harus operasi kecil pakai laser..”

(Muka saya super ketakutan kayak di komik-komik)

“Tenang, gak berasa kok. Dibius total cuma duapuluh menit. Janinnya sehat nih, udah 4 minggu.” (di layar usg ada bulatan hitam kecil kayak kacang tauco).

Begitu ditunjukkan foto polip cervix di google, saya muntah di wastafel ruangan dokter :p

Sepulang dari RS, selain menyimpan rasa takut berlebihan karena bakal dilaser dan dibis (takut biusnya tidak berfungsi atau saya tidak bangun lagi), saya juga menyimpan kekaguman dengan dr Stella. Dia sangat teliti dengan jiwa keibuan yang peduli dengan anaknya.

Selama beberapa hari itu, saya mendadak berdoa lebih khusuk. :p

Tanggal 31 Oktober. Operasi polip di ruang bersalin.

Detik-detik menjelang dibius saya seperti kambing yang mau disembelih. Suster kesulitan menusuk jarum infus karena urat saya tegang. Lalu saat suster melihat ke arah lain, saya berekspresi seperti menjerit tapi tidak bersuara.

Tahu-tahu suster melihat saya kaget, “Kamu kenapa?? Kesakitan?!!”

Saya dengan muka malu “Nggak, Sus.. Takut aja..”

Yaelah kamu.. Diapa-apain aja belum,” kata si suster.

Edwin di samping saya ketawa-ketawa.

Saya? Jadi tambah malu.

Kemudian sejam kemudian, dr Stella masuk ke ruangan bersama seorang dokter bius bernama dr Loyd (yang saya tahu belakangan kalau dia adalah bapaknya Afgan!).

Dr Loyd orangnya cool, tanpa senyum.

“Kamu tahu kan, tindakan ini ada risikonya?”

Saya dan Edwin mematung. “Risiko apa Dok?”

“Buat kelangsungan kehamilan..”

(What?! Kalau ada risiko itu ya mending kagak usah operasi polip kaleee… *saya sudah bersiap kabur*)

Dr Stella: Ya risiko pasti ada, tapi kan sudah dicek semuanya..

Edwin: Besar apa kecil dok risikonya?

Dr Loyd: Ya, pasti kecil. Kalau besar nggak mungkin kita ambil tindakan ini.

Saya & Edwin: Fiuhhh.. (Bapaknya Afgan ini senyum dikit kek biar nggak bikin tegang)

Begitu mau dibius, saya memanfaatkan waktu sebisa mungkin untuk bertanya macam-macam.

“Dokter Stella, nanti baby saya dicek juga?” (saat ini bius mulai dimasukkan lewat jarum infus)

“Oh iya dong pasti..”

“Dokter Loyd.. Berapa lama setelah dibius saya tertidur?”

“Lima menit”

(saat itu pandangan saya mulai kabur)

“Dokter, kalau biusnya nggak mempan, perlu ditambah kadarnya nggak?” –> Saya sadar pertanyaan ini bodoh sekali, dan saat itu kepala saya sudah mulai pusing.

(Dokter diam saja, pasti merasa saya bodohnya keterlaluan karena masih meragukan obat bius. Saya masih bisa berpikir, ih ini dokter ditanya diam saja.. Sombong deh loe, Bro.)

Lalu saya masih sok-sokan iseng mau melawan pengaruh obat bius dengan berusaha membuka mata lebar-lebar..

Sedetik kemudian.. BLESSS. Hitam semua.

Tepat 20 menit kemudian, jam 9.20 WIB, saya terbangun karena dengar suara suster samar-samar. Suster bilang, “Sudah selesai operasinya.”

Oh, sudah? Pikir saya. “Sus, saya suka dibius, enak rasanya. Boleh lagi nggak?”

Suster tertawa karena melihat awalnya saya ketakutan kayak anak kambing mau disate, sekarang ketagihan dibius.

Kemudian malam harinya, saya kembali bertemu dr Stella untuk di-USG. Hasilnya, janin saya sudah membesar, bentuknya seperti kacang merah. Ada dua titik putih. Titik satu adalah denyut jantung janin, dan titik kedua adalah cadangan makanan untuk janin. Lucu sekali, denyut jantung seperti mata yang berkedip-kedip di layar.

Edwin: Dok, itu mata yang kedip-kedip?

dr Stella: (Menyikut Edwin), ngaco, itu jantungnya kaleee.. (ini dokter Stella tipe yang seru tapi tegas, bukan seperti dokter yang serius-serius begitu, which is good!)

🙂

Moral of the story: Tidak usah parno atau senewen berlebihan seperti saya ya, buang-buang energi saja. Nikmatilah setiap momennya, jangan kayak saya yang sekarang lagi ketakutan mau melahirkan normal atau Caesar, dan masih mencari tahu bagaimana melahirkan dengan cara bersin saja :p

Oya, sama satu lagi. Makanan menurut saya sangat penting selama kehamilan. Saya STOP indomie, micin, junkfood. Saya ganti semua dengan sayuran hijau (sumber kalsium), ayam kampung, ikan, buah-buahan (sehari minimal 3 macam). Manfaatnya terasa, perkembangan janin bagus (di luar masalah perut saya yang kelihatan sudah hamil 3 bulan, padahal janin masih seukuran biji apel begini :p)

Kalau mengalami drama mual-mual setiap hari kayak saya, coba selalu siap minyak angin atau apapun yang bikin badan lebih baik dan menunda muntah. Saya juga selalu siap kantong plastik di mobil kalau harus muntah sambil nyetir.

Menurut pengalaman saya, makan apel bikin muntah malas keluar juga :p.

Sekian sepercik cerita kehamilan saya yang cupu ini. Semoga bermanfaat untuk kalian-kalian yang sedang merencanakan kehamilan atau sama-sama newbie. 🙂

love,

faye

Pijat Sakti Sumirah

41555 Screen Shot 2015-09-10 at 9.42.49 AM Screen Shot 2015-09-10 at 9.43.15 AM

Pijat Sakti Sumirah

(dimuat di majalah Esquire Indonesia, Agustus 2015)

 

Di mana-mana aku menemukan tulisan ‘PIJAT SAKTI IBU SUMIRAH’ beserta nomor telepon yang bisa dihubungi. Awalnya aku melihatnya di selebaran kertas yang ditempel di pohon dan tembok gedung, dan sewajarnya kubiarkan saja. Siapa peduli dengan jari sakti seorang ibu-ibu?

Hari-hari sampai bulan-bulan berikutnya aku semakin sering melihat iklan selebaran pijat itu. Entah di papan info supermarket, apartemen, bahkan sampai menjadi perbincangan dua lelaki muda yang tampak seperti pengusaha saat aku tak sengaja mencuri dengar di sebuah kafe kopi. Mereka tak berhenti memuji kehebatan ibu Sumirah. Samar-samar kudengar seorang dari mereka berkomentar seperti ini: “Baru pertama kalinya pijatan perempuan sedahsyat dia.” Kemudian dibalas oleh pengusaha satunya, “Panjang sekali antrean untuk dipijat Ibu Sumirah, bisa-bisa baru sebulan kemudian dapat gilirannya. Tapi sekalinya dipijat, masalah hidup kita seketika hilang.”

Dalam hati aku berpikir, hebat betul Ibu Sumirah itu kalau memang benar sampai banyak orang mengantre agar bisa dipijat olehnya. Pakai kekuatan apa pula sampai para pelanggan bisa keluar dari masalah kehidupan?

Selagi aku melamun memikirkan sosok Ibu Sumirah, kedua pengusaha itu beranjak dan menyodorkanku sebuah kertas. Isinya ya itu, iklan Pijat Sakti Ibu Sumirah.

Kuterima saja kertasnya dengan pandangan bingung. Lalu si lelaki bilang, “Saya hanya berbagi sedikit kesaksian. Kalau kamu mau bahagia, kamu layak dipijat oleh Ibu Sumirah,” ucapnya. Setelah itu, mereka berdua pergi. Apa-apaan ini? Pikirku sembari memelototi kertas yang tampak penuh maksiat itu.

Aku memilih pulang berjalan kaki dari kedai kopi, sebab letaknya tidak jauh dari kompleks rumahku. Biasanya aku naik sepeda motorku atau angkot (yang pintunya dipenuhi tempelan iklan ‘PIJAT SAKTI IBU SUMIRAH’, tumpang tindih dengan iklan kursus jahit Juliana Jaya), tapi kali ini aku memilih berjalan santai saja tanpa ada alasan khusus.

Ketika aku memasuki kompleks rumahku, seperti biasanya, aku menyapa orang hansip yang berjaga di depan pos sambil mengelap koleksi cincin batunya.

“Pak Ucup, tumben hari ini tidak mengelap cincin,” sapaku.

“Iya nih, Mas Toni. Hari ini saya sibuk datang ke rumah-rumah untuk beritahu bahwa malam ini ada pertemuan warga di rumah pak RT. Mas Toni ikutan juga, kan?”

“Oh begitu. Mau mbahas apa di rumah pak RT?”

Ndak tahu juga, Pak. Katanya ada program kompleks baru apa gitulah saya juga ndak ngerti.”

“Siap, Pak Ucup. Nanti saya datang.”

Lamunan saya tentang Ibu Sumirah hari itu ternyata sangat memakan waktu, tak terasa sudah hampir jam tujuh malam dan harus segera berangkat ke rumah Pak RT. Sesampainya di sana, para warga sudah duduk melingkar beralaskan tikar sambil mengunyah kuaci yang disiapkan oleh istri Pak RT.

“Pak RT, malam ini mau membicarakan apa?” tanya Ibu Susi, seorang janda beranak satu yang tinggal di ujung gang.

“Baik kalau begitu saya buka saja rapat ini. Terima kasih bapak-bapak ibu-ibu sudah bersedia datang ke sini, tentu kalau tidak penting maka tidak akan saya adakan rapat ini.” Aku sudah tahu betul tabiat Pak RT ini, kalau berbicara sangat bertele-tele.

“Saya mengerti bapak ibu sekalian sangat sibuk setiap hari, apalagi meghadapi kemacetan ibukota. Maka itu saya sangat berterima kasih bapak ibu rela menyediakan waktu untuk hadir di pertemuan kita ini,” lanjut pak RT.

Semua warga sudah mulai gemas, tidak sabar mau memotong sambutannya. Tapi sebagai warga yang baik, kami semua berusaha khusuk mendengarkan.

“Maka dari itu, saya mengumpulkan bapak ibu di sini untuk membahas hal yang penting sekali bagi kehidupan seluruh warga RT tigabelas dan RW nol nol enam. Mungkin bapak ibu cukup bertanya-tanya tentang topik kita malam ini..”

“Betul pak, kami bertanya-tanya sekali. Jadi apakah kita akan membicarakan strategi mengurangi kasus maling di kompleks ini?” Akhirnya Rizal, tetanggaku yang pernah mengalami kecopetan di depan rumahnya membuka suara. Rizal memang tipe lelaki yang tidak sabar dan selalu sinis dengan Pak RT.

“Oh ya, betul sekali, dik Rizal. Tentu kita akan membicarakan strategi tersebut. Tapi ada satu hal yang lebih penting lagi untuk dibahas,” kata Pak RT.

“Soal lomba tujuh belasan ya, pak?”

“Atau kenaikan uang bulanan sampah dan keamanan?”

“Ayo pak, cepat sedikit bicaranya. Saya harus menyusui anak malam ini.”

Akhirnya warga tak ragu-ragu menembak langsung si pak RT.

“Baik.. Baik.. Semua itu betul, wong saya ini pak RT, pasti saya akan membahas semua program kompleks ini. Tapi sebelumnya, saya mau memberitahu informasi ini.”

Pak RT mengeluarkan beberapa lembar kertas. Kemudian ia perlihatkan ke para warga. PIJAT SAKTI IBU SUMIRAH.

Astaganaga. Pak RT juga kena virus Sumirah.

“Bapak ibu sekompleks yang saya hormati dan cintai, saya hanya berbagi kesaksian sedikit yang pastinya amat sangat super berguna. Ini Ibu Sumirah ahli pijat yang dapat mengobati semua segala jenis sakit badan dan menjadi tempat solusi permasalahan hidup bapak ibu sekalian yang amat sangat saya hormati dan cintai.”

Semua warga, termasuk aku, bertukar pandang satu sama lain.

“Pak, apa-apaan ini pertemuan warga saya kira sepenting apa,” ujar Ibu Susi disusul dengan dengusan dari hidungnya.

“Tenang, Bu. Saya tidak bohong belaka, tanyakan pada seluruh warga kompleks sebelah tentang Ibu Sumirah. Mereka semua sudah merasakan pijatannya, dan hasilnya tak ada lagi aksi maling di seluruh rumah.”

“Bisa mengurangi kesedihan setelah bercerai juga, Pak?” tanya Ibu Susi menyindir.

“Oh iya, betul Bu. Warga kompleks sebelah buktinya bisa tertawa-tawa, padahal baru bercerai seminggu yang lalu,” jawab Pak RT penuh percaya diri.

Ibu Susi baru mulai melunak dan tertarik. Begitu juga warga yang lain mulai antusias karena mendengar kesaksian pak RT.

“Memang bagaimana cara Ibu Sumirah memijat sampai bisa sakti begitu, pak? Apa semacam pijat plus-plus begitu?” kali ini yang menyambar adalah Pak Ucup.

Huss, Ibu Sumirah bukan pemijat plus-plus. Pokoknya lebih sakti dari plus-plus. Saya tidak boleh menyebarkan metodenya, karena pengalaman yang didapat setiap pelanggan akan berbeda,” kata pak RT. Sebagian wajah lelaki menjadi lesu karena ternyata bukan plus-plus.

“Jadi kalau kita mau dipijat sama Ibu Sumirah, tinggal menghubungi ke nomor telepon yang ada di iklan saja?” tanya warga yang lain.

“Ya, nanti yang mengangkat telepon adalah asistennya. Tapi sebaiknya bapak ibu menyebut nama saya ketika mendaftar, karena Ibu Sumirah akan keluar kesaktiannya kalau ia tahu siapa yang mengenalkannya pada bapak ibu. Tapi kita harus sabar menunggu giliran, karena banyak sekali yang mendaftar untuk dipijat Ibu Sumirah.”

Setelah sesi tanya jawab seputar pijatan Ibu Sumirah berlangsung kurang lebih satu setengah jam, pak RT menguap dan siap menutup rapat.

“Baiklah bapak ibu sekalian, dengan begini saya tutup saja pertemuan malam kita ini. Terima kasih sekali lagi telah meluangkan waktu..”

Aku yang kali ini memotongnya. “Pak RT, jadi kapan kita membahas strategi maling dan persiapan tujuh belasan?”

“Oh ya ya betul. Menurut saya, setelah bapak ibu sekalian sudah merasakan dipijat oleh Ibu Sumirah, saya rasa masalah maling dan persiapan tujuh belasan semuanya bisa terselesaikan dengan sendirinya..” ucapnya dengan wajah bijak dan berusaha menahan kantuk. Semua warga pun dibubarkan oleh pak RT.

Jadi begitu saja pertemuan warga kompleks yang penting itu. Aku pulang menggenggam kertas iklan pijat dari pak RT dan penuh kebingungan.

Sebelum tidur, aku berencana membuktikan kesaktian Ibu Sumirah yang dimaksud. Aku akan meneleponnya dan mendaftar untuk dipijat.

Tepat tiga puluh hari kemudian, aku dihubungi oleh asisten Ibu Sumirah. Katanya, sore ini giliranku tiba untuk dipijat. Kemudian ia memberitahukan alamat lengkap tempat praktek pijatnya. Di belakang stasiun Sudirman, katanya.

Segera aku di akntor beraksi pura-pura sakit sehingga harus pulang lebih cepat untuk ke dokter. Aku tancap gas motor menuju rumah Ibu Sumirah dengan rasa penasaran tinggi sampai ke ubun-ubun. Dalam hati aku berharap semoga setelah dipijat aku akan segera mengakhiri hidup jomblo.

Alamat yang diberikan mengacu ke sebuah rumah sederhana yang tertutup dan gelap, seperti tidak ada penghuninya. Akupun menjadi bergidik ngeri. Jangan-jangan Ibu Sumirah itu adalah arwah penunggu rumah ini.

Sebelum aku memutuskan pergi dari sana, kulihat seorang perempuan muda sekitar duapuluh lima tahun keluar dari rumah itu. Rambutnya diikat dan terlihat sedikit berantakan, dan aku berasumsi gadis itu habis dipijat oleh Ibu Sumirah. Akupun memutuskan untuk masuk ke dalam rumah itu.

Dalam rumahnya tak kalah gelap dengan suasana luarnya. Di dalamnya hanya ada sebuah meja pendaftaran dan kursi, di mana seorang perempuan tua duduk di sana. Itu pasti asisten Ibu Sumirah, ucapku dalam hati.

“Kamu Nak Toni ya?” ucap si ibu. Akupun mengangguk. “Silakan masuk ke kamar, Ibu Sumirah sudah menunggumu.

Jantungku berdebar-debar ketika melangkah menuju kamar. Seperti apa sosok Ibu Sumirah? Kenapa orang-orang tidak pernah memberitahukanku bahwa rumah Ibu Sumirah horor begini? Ah sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Aku sudah terlanjur datang ke sini.

Kubuka pintu kamar, lalu kulihat ada sebuah kasur di lantai dan seorang perempuan berambut putih panjang duduk bersila di samping kasur. Matanya tertutup dan kedua telapak tangannya menyatu di depan dada, seperti bersemedi.

“Buka bajumu,” ucap Ibu Sumirah tanpa membuka mata sama sekali.

Aku menurut saja. Sebab nada bicara Ibu Sumirah lebih seperti memerintah.

“Celana juga,” gumamnya.

Aku pun menurutinya. Ketika aku hendak membuka celana dalam, ia mencegah. “Yang dalam tidak perlu.” Ah, leganya aku.

“Sekarang, tengkurap di kasur,” perintahnya lagi.

Aku hanya bisa tengkurap dan meneggelamkan wajah di bantal, tidak berani menengok ke belakang. Kemudian tak lama kemudian, aku merasakan baluran minytak dan pijatan tangan Ibu Sumirah menjalari punggungku. Lumayan, tenaganya cukup kuat untuk standar perempuan.

Selama dipijat, aku tak merasakan keanehan yang terjadi. Teknik pijatannya mirip dengan tukang pijat pada umumnya. Seluruh tubuhku diurut, kecuali bagian tubuhku yang sensitif. Tentu saja, ia bukan pemijat plus-plus.

Setelah satu jam, Ibu Sumirah memintaku untuk duduk dan kembali memakai pakaianku. Ia pun kembali duduk bersila di depanku.

“Bagaimana, sudah lebih enak badannya?”

“Lumayan, jadi jauh lebih enteng,” jawabku jujur.

“Bagus.”

Aku memberanikan diri bertanya. “Kata orang-orang, Ibu Sumirah dapat membantu mencari solusi dari masalah kehidupan. Apa betul?”

Ibu Sumirah terkekeh. “Betul sekali. Apa masalahmu, Nak?”

“Saya.. Saya tidak punya pacar, Bu,” ucapku malu-malu.

“Kenapa orang seganteng kamu tidak punya pacar?”

“Saya sering sekali menyatakan cinta pada perempuan, tapi lima tahun terakhir ini mereka selalu menolak saya. Saya tidak tahu penyebabnya.”

Hmmm…” Matanya menerawang memperhatikan wajahku. “Kalau saya lihat garis wajahmu, penyebabnya adalah karena kamu kurang uang. Mereka tidak mau sama kamu karena kamu kurang kaya.”

“Bisa jadi, Bu. Perempuan zaman sekarang materialistis,” ucapku.

“Persoalanmu mudah. Kamu akan saya beri sebuah posisi terhormat, menjadi seorang agen rahasia PIJAT SAKTI IBU SUMIRAH.”

“Agen rahasia? Benar bisa membuat saya kaya?”

“Tentu, jaminan mutu. Jadi syaratnya, kamu harus mengajak orang untuk menjadi pelanggan Ibu Sumirah, kemudian kamu akan mendapat komisi menarik atas setiap pelanggan yang datang menyebut namamu. Hidup penuh perjuangan, Nak Toni,” ucapnya sembari memegang bahuku.

“Ini saya seperti dijadikan sales marketing ya, Bu?”

Oh, tidak. Istilah sales marketing itu haram buat saya. Agen rahasia ini bukan bertugas untuk berjualan, tapi hanya menyebarkan kesaksian sebanyak-banyaknya bahwa dengan dipijat oleh Ibu Sumirah, maka persoalan hidup akan teratasi. Kamu pun akan cepat kaya bila mendapat komisi, Nak Toni. Dengan begitu, para perempuan cantik akan mengejarmu karena kamu sudah kaya.”

Senyumku mengembang. Rasanya cukup menjanjikan prospek dari Ibu Sumirah ini. Kalau aku rajin menyebarkan kesaksian, tentu aku dapat banyak komisi. Kalau aku punya banyak uang, tak perlu memusingkan lagi status jombloku.

“Baik, Ibu Sumirah. Saya terima tawarannya. Terima kasih banyak.”

Ibu Sumirah tersenyum. Ia kemudian mengambil segepok kertas bertuliskan PIJAT SAKTI IBU SUMIRAH. “Tuliskan namamu di kertas ini, jadi orang yang datang ke sini dapat menyebut namamu,” ucapnya.

Aku menerimanya dengan kegirangan.

“Omong-omong Bu, berapa biaya pijat yang harus kubayar?”

“Seperti yang saya tadi bilang, konsep jasa pijatan saya ini bukan untuk dijual. Jadi, kamu bebas membayar berapapun semampunya. Yang pasti, semakin tinggi yang kamu bayarkan, semakin besar kesempatanmu untuk menjadi kaya raya,” Ibu Sumirah tersenyum bijak sambil (lagi-lagi) memegang bahuku, pertanda memberiku kepercayaan.

Kurogoh kantong celanaku. Ada dua lembar seratus ribuan terakhir. Kuberikan semuanya ke Ibu Sumirah, tapi ia menyuruhku memasukkan uangnya ke dalam celengan ayam jago di meja sebelah kasur. “Ayam ini gaib. Ia akan menghitung jumlah uangmu dan memberimu rezeki,” kata Ibu Sumirah seraya mengelus celengan ayamnya.

Aku beranjak berdiri dan mengucap banyak terima kasih pada Ibu Sumirah. Dalam hati aku bertekad akan menyebarkan kesaksian pijat sakti ini kepada semua orang, termasuk bos dan teman-teman di kantor.

***

Catatan dari penulis: Menurut ‘penerawangan’ penulis, Ibu Sumirah merupakan penggiat MLM yang terbilang sukses, karena ia bisa mempengaruhi orang-orang untuk menjadi agen-agennya (dalam bahasa MLM disebut kaki-kaki) dalam menyebarkan kesaksian (bukan berjualan) Pijat Sakti Ibu Sumirah. J

Siluet di Rumah Reyot

Oleh: Faye Yolody

Dipublikasikan di http://fiksilotus.com/2011/12/29/siluet-di-rumah-reyot/ (29 Desember 2011)

Image

Di dalam sebuah rumah reyot di seberang sungai, sepasang insan sedang mencinta. Tampak siluet tubuh kurus memeluk pinggang seorang perempuan bungkuk sedang berputar dengan tertatih-tatih. Kedua bayangan mereka menyatu, dan apabila dinding itu bisa merekam suara, akan terdengar sayu-sayu obrolan dengan irama yang lembut dan menenangkan. Buyar tawa sesekali terdengar menyelingi percakapan seru itu, kemudian terkadang kesunyian mencuri waktu dalam dekapan orang dalam siluet itu.

Retakan kaca, engsel pintu yang rusak, beserta rayap-rayap yang bersarang di pondasi kayu rumah tak sengaja mencuri dengan obrolan mereka, tanpa meminta izin pada dinding. Mereka menyaksikan langsung kedua insan itu tanpa harus menerka-nerka siluet. Si retakan mendadak terdiam, engsel pintu berhenti berdecit, dan rayap menunda pekerjaannya. Hanya angin di luar yang terus berhembus, mengamati si pemilik siluet, dan mengetahui kisah pahit manis di balik obrolan dan pelukan.

“Entah sampai kapan aku bisa merasakan hangat tanganmu lagi, Jan,” ujar perempuan itu lirih.

“Maka jangan lepas dari genggamanku lagi, Ratih,” ujar lelaki itu seraya mengecup dahi si perempuan yang terhalang rambut putih. Sesekali mereka menari berputar, dan ketika merasa lelah mereka saling membantu untuk duduk menepi di kursi.

Berpuluh tahun lalu, Jan dan Ratih adalah teman sepermainan di antara empat lainnya. Setiap sore sepulang sekolah, mereka suka bermain petak umpet. Suatu momen saat Ratih menghadap pohon dan menghitung sementara teman-temannya bersembunyi, ia mendapati dua orang tentara di balik badannya. Tentara itu sedang melakukan razia, terutama pada warga keturunan. Saat itu Jan yang sedang bersembunyi di balik gerobak sampah ingin menghampiri, tapi urung. Bisa-bisa ia ditangkap dan dihabisi nyawanya karena warna kulitnya yang kuning dan matanya yang sipit.Paratentara mengamati gadis kecil itu dari kepala sampai kaki. Setelah mengamati Ratih, kemudian melihat sekeliling dengan cermat, seperti sedang mencari sesuatu. Untungnya, kedua tentara tersebut nampaknya tidak berniat jahat. Setelah beberapa saat, kedua tentara itu kembali berjalan dan menghilang di belokan gang. Jan segera menghambur keluar.

“Maaf aku tak membantumu tadi..”

“Tak apa. Aku tahu bukan kamu tak mau, tapi tak bisa,kan? Aku mengerti posisimu, Jan. Lagipula aku tidak kenapa-napa.”

Jan tersenyum, lalu Ratih kembali menghadap pohon sementara Jan mencari tempat persembuyian lagi.

Dua tahun ini mereka membohongi perasaan masing-masing dan menyelimutinya dengan persahabatan. Jan dan Ratih tahu, filosofi keluarga Jan dengan darah keturunan Tionghoa sangat bertolak belakang dengan ketulenan suku Jawa yang dimiliki Ratih. Semakin mereka memaksakan hubungan, semakin menjerumuskan mereka ke semak belukar yang rumit. Seperti dunia yang tak berawal dan tak ada akhir, mereka memutuskan hubungan begitu saja. Tanpa ucapan, tanpa perpisahan.

Jan dan Ratih menikah dengan pasangan masing-masing hingga beranak-cucu. Istri Jan meninggal di usia 65 tahun karena penyakit kanker yang bersarang di tubuhnya selama tiga tahun. “Terima kasih, kamu telah menemaniku selama 40 tahun ini, Jan. Kejarlah bahagiamu yang sesungguhnya.” Jan memandangi terus-menerus pada kalimat terakhirsuratwasiat yang ditinggalkan istri. Jan termangu, menyadari istrinya sadar akan sesuatu yang hilang dari diri Jan selama usia pernikahan mereka.

Di belahan lain, setahun kemudian, Ratih bersama dua anak dan empat cucunya berduka atas sepeninggal suaminya yang berasal di dusun seberang. Ratih mengusap air mata nelangsa yang bercucuran terus-menerus di samping jasad suaminya. Ia tidak sanggup menghadapi perpisahan untuk kedua kalinya.

Semenjak itu, Ratih senang berjalan-jalan di taman sendirian, menikmati senja yang hangat. Di sebuah bangku taman, Ratih melihat seorang lelaki sedang mengobrol dengan anjingnya. Sebuah tongkat bersandar pada lutut si lelaki. Ratih duduk di sampingnya, berusaha meluruskan punggungnya yang bungkuk pada sandaran bangku. Ratih memperhatikan sinar mata lelaki yang teduh, mengingatkannya pada seseorang.

Merasa diperhatikan, lelaki itu menoleh ke arah Ratih. Jan terkesiap lalu tersenyum tipis setelah beberapa detik. Buat Jan, raut wajah Ratih masih persis seperti dulu, hanya saja kerutan menghiasi seluruh wajahnya.

“45 Tahun bukan waktu yang singkat, ya,” Jan membuka pembicaraan.

“Apa kabar?”

“Ya, seperti yang kamu lihat. Tua, keriput, dan mencari kebahagiaan.”

“Memang kamu tidak bahagia?”

“Bahagia. Tapi—“

“Tapi apa?”

“Masih kurang.”

“Oh.”

“Kalau kamu?”

“Aku punya sepasang anak dan empat cucu.”

“Kamu bahagia?”

“Tentu.”

“Bagus sekali.”

“Kamu ada acara sore ini?”

“Hm, tidak.”

“Tidak dicari istrimu?”

“Tidak. Ia sedang tidur tenang di surga.”

“Oh, maaf. Mau berjalan-jalan?”

“Bruno ikut, ya. Dia sedih kalau aku tinggal di rumah.” Jan menarik rantai Bruno, seekor anjing jenis Golden Retriever. Bruno beranjak dan berjalan pelan sekali, mengimbangi kecepatan langkah kaki majikannya.

Mereka berjalan terus menyusuri rerumputan dan sungai. Mereka melihat sebuah rumah kosong yang bobrok di seberang sungai. Bobrok, seperti tubuh mereka di usia senja. Rasanya, rumah itu tepat untuk tempat mengobrol. Mereka menyeberangi jembatan dengan sangat hati-hati.

Teras rumah bobrok memberikan kehidupan yang baru pada Jan dan Ratih. Mereka mengisi waktu dengan menyusunkan kembali keping-keping kisah mereka di masa lalu. Kini, mereka menertawakan kesialan nasib mereka yang terkekang tradisi dan batasan aturan di masa lalu. Andai saja mereka bisa memilih untuk lahir di zaman yang lebih moderen, tentu mereka tak akan mengalami pengotakkan antara orang pribumi dan keturunan Tionghoa.

Semenjak senja itu, setiap pagi sebelum fajar merekah, Ratih membantu menyiapkan keperluan sekolah cucu-cucunya, lalu berdandan.

“Eyang Ntih, kok belakangan ini eyang dandan terus sih? Suka senyum-senyum sendiri juga,” ujar Sari, cucunya yang ke sembilan, masih duduk di bangku SD. Ratih hanya tersenyum dan mengecup keningnya, lalu mengambil payung hijaunya dan melangkah ke luar rumah. Ia menuju rumah bobrok di seberang sungai.

Sementara, Jan sudah bersiap dengan kemeja dan kolonye-nya. Ia menuangkan makanan untuk Bruno, dan menepuk-nepuk kepalanya. Kemudian ia pergi menuju rumah bobrok di seberang sungai. Bruno sudah mengerti dan tidak keberataan ditinggal olehnya.

DisanaJan dan Ratih menyulam kembali kenangan yang tertunda. Mereka duduk di teras kayu yang reyot, saling berbagi cerita dan tawa. Mengingat-ingat masa-masa ketika mereka bermain bersama di lapangan bola, atau balapan sepeda sampai di perempatan sekolah. Mereka suka menikmati hujan, hingga Ratih tertidur di bahu Jan. Bahkan, tak jarang mereka berdansa bersama dengan musik dari alat pemutar musik tua yang dibawa Jan. Mereka selayak pasangan penari, yang berbahagia meliuk-liuk di atas panggung.

Menjelang matahari terbenam, mereka harus kembali ke dunia nyata, di mana keluarga dan cucu-cucu yang sah menunggu di rumah. Mereka harus berpisah, di depan rumah bobrok itu.

“Sampai ketemu besok, Ratih,” ucap Jan sendu.

“Sampai ketemu besok, Jan,” Ratih mencium tangan Jan yang keriput.

Setiap perpisahan mereka di ujung senja, seakan itu perjumpaan terakhir kalinya. Mereka selalu disergap kesedihan yang mendalam ketika hendak berpisah. Jan selalu memastikan punggung Ratih yang cembung seperti tempurung kura-kura itu sampai lenyap di persimpangan. Jan dan Ratih, menyimpan harapan yang selalu sama, supaya bisa bertemu di esok hari. Mereka tak tahu kapan ajal menjemput.

Begitulah yang mereka lakukan setiap hari di usia 65. Gairah mereka tak ubahnya seperti anak muda yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Namun di suatu subuh, Ratih merasa tubuhnya tak bisa bangun, matanya tak kuat membuka.

“Eyang Ntiiiiihh!” cucu-cucunya berkerumun, menggoyang-goyangkan badannya yang rintih. Anak-anaknya tak henti-hentinya mengucurkan air mata kehilangan. Ratih tidak merasa apa-apa, tapi ia bisa merasakan kepedihan di antara keluarganya. Satu yang sedang ia sesalkan, ia tak sempat menyampaikan pesan pada Jan untuk tidak udah menunggunya hari ini di rumah bobrok itu, karena tubuhnya letih sekali.

Benar saja, Jan sudah berdiri di menghadap ke rumah bobrok selama dua jam. Ia masih berharap perempuan yang dicintainya tiba-tiba muncul dari balik daun jendela, memberikannya secangkir teh pahit, seperti biasa. Tapi hari itu, hatinya sepi. Sunyi, seakan kenangan indah yang dimilikinya ditarik ke langit, kembali ia merasa dipecut tradisi, bahwa mereka tidak bisa bersama.

Angin semilir membawa pesan ke telinga Jan. Bukan hanya Jan yang merasa kehilangan. Tapi juga, angin, tapi juga retakan kaca, engsel pintu, serta rayap-rayap kayu di rumah reyot bersedih, merindukan siluet yang setiap harinya mengisi kekosongan disana. Air mata Jan jatuh tak tertahankan. Ia tersedu hingga tulang-tulang di bahunya yang kurus ikut bergetar. Ia meraung seperti seorang anak kecil, yang tak menemukan mainan kesayangannya yang hilang. Ia terus bertumpu pada kedua kakinya yang lemah, berpijak pada teras kayu yang reyot, dan tak ingin meninggalkan kenangan.

2011 © Hak Cipta. Fiksi Lotus dan Faye Yolody. Tidak untuk dijual, digandakan ataupun ditukar.

________________________

# CATATAN:

> Cerpen ini merupakan bagian dari workshop Lotus Creative: Periode I, belum pernah diterbitkan di media massa sebelumnya. Ditulis oleh Faye Yolody.

>> FAYE YOLODY adalah seorang jurnalis dan penulis muda yang sekarang ini berbasis di Jakarta dan bekerja di salah satu media ternama dalam negeri, Media Indonesia. Salah satu cerita pendeknya telah diikut-sertakan dalam buku kompilasi cerita pendek “Cerita Sahabat” yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (2011).

Incredible Papandayan

251164_10151248901459865_1820131017_n

IMG-20121202-WA009

IMG-20121202-WA001IMG_0329

IMG-20121202-WA006IMG-20121202-WA002IMG-20121202-WA012

Hey, friends 🙂 Actually this is my new blog in wordpress, I recently moved from http://fayeyolody.blogspot.com/ because of sort of things.

Anyway, as you can see my pictures above, last weekend (Dec 1st-2nd) I ‘escaped from the city’ for hiking to Mt. Papandayan, located in Garut, West Java, Indonesia. It takes about 4-5 hours form Jakarta, or 2-3 hours from Bandung.

By staying over for 2 days here, my pride of Indonesia is getting huge and huge. By looking the exotic view from the top of the mountain, the expanse of fertile land farms and green grass, I thought ‘Oh my goodness, where else I could feel a very great ambiance and the incredible view like this?’

And yea, this is one of my favorite journeys so far this year. Besides captivated by its view and weather, friends of mine are amazing too. They are Edwin (ehm, he’s my beau, too), Benz, Ksanti, Leo, Liana, and Irwan. They make every second much more fun and precious. Liana and Ksanti, who are  6th month-pregnant women, acted like teenagers hahahaha. It seemed that big belly didn’t bother at all. Salute.

For getting Papandayan area, it costs only $0.2 or Rp2.000 per person. Amazing, isn’t it? And before we hiked at 11.30 am, we had been  eating instant noodle, fried rice, and peanut in a food stall on the foot of the mountain. Being in that cold temperature and togetherness, two plates of those foods taste really really good, hehe.

The journey continues. Tracking up and up, stepping the rock and rock, chasing the fog blown from the holes where sulfur takes place. We walked the 3-4 hour track, took the pictures from the peak, boiled hot water manually and drank hot ginger and coffee together at 2.142 Meter heights. We enjoyed our breath between the white fog when twilight coming, and we got in a little rush when rain started to drop. Of  course, with much more  laughter, too. 😀

After hiking, we gave ourselves a swim at about 9 pm in warm water pool in Sumber Alam hotel, a hotel located in Cipanas. Tiredness’s gone in a second. Haha. To end the day, we ate satay in a small-and-quite-dirty restaurant (because we had no idea which were  restaurants open in the midnight) :’))) *bitterlaugh*

Oya, we stayed over in Sari Papandayan hotel (you can see the picture above on the right side), which is built with wood and bamboo. It costs from $45 or Rp450.000 to $67.5 or Rp675.000/night. We rented a biggest bungalow to rest.

On the next day, we woke up in the morning and were wasting the whole morning (in Bahasa it’s called leyeh-leyeh), and we headed to Bandung at noon (it takes about 3 hrs from Garut). We were buying some baked banana (pisang molen), snacks, then going to Ciater Spa to soak in very hot water. It gave us more energy, relaxed the body, and brought some fun!

Then, we headed to have supper in Brebes Restaurant (where the roasted chicken and salty duck egg menus are very popular). And arrgghh.. Remember we have to get work and back into routines in the next day, we went back to our city Jakarta at about 12 am. I reached home at 2.30 am, and unexpectedly I felt so fresh in along the days. 🙂

“As a local tourist and nature enthusiast, I recommended Papandayan Mt. to be your destination once you get Indonesia. It’s worth it to visit, feel the Indonesia-ness here, but, please take care the environment by throwing your trash into the bin, not on the mountain. “

OK, I have to get back to work and write, and as a hint.. I’ll be going to Bali in a few days later! I’ll tell you so 🙂

kiss,

fy