Sepercik Cerita Kehamilan (Bag.3)

Hmm.. Sudah hampir 100 hari setelah saya melahirkan Chaka. And I feel soo good now. 🙂

Oke, saya mau menyambung cerita lagi, di hari saya melahirkan. Sekarang nulisnya nggak pakai nangis-nangis lagi, tapi dengan perasaan happy di tengah kesejukan udara 6 derajat celcius di Kempten, Jerman. Sekarang ini di depan saya ada ponakan saya yang lagi menikmati Yoghurt cokelatnya, pakai baju tiga lapis ditambah jaket pink bergambar kucing. Sesekali dia gangguin dan mengintip apa yang saya tulis. I’ll never forget this moment. 😀

Back then, di tanggal 10 Februari 2016 lalu, sekitar jam 9 pagi saya tiba di RS Mitra Keluarga. Menunggu dengan penuh kecemasan, ditemani suami, mama, dan mama mertua. Masuk ke kamar  bersalin, dan para suster berjalan hilir mudik, sibuk mempersiapkan kelahiran orang-orang.

Tak ada ruangan kosong untuk saya, akhirnya saya disuruh menunggu di salah satu kamar kelas dua. Lalu, dokter Stella meminta saya ke ruangan prakteknya untuk mulai diinduksi. Saat itu jam setengah satu siang.

Vagina saya dimasukkan semacam balon karet, lalu diisi air steril sampai balonnya mengembang di dalam tubuh saya. Tujuannya supaya jalan lahirnya membesar dan bayi bisa keluar.

Empat jam kemudian, saya merasakan mulas luar biasa, sampai keringat dingin pun keluar. Bingung, antara sudah waktunya melahirkan atau mau buang air besar. Tapi ternyata setelah pembukaan saya dicek, baru pembukaan 1. Kemudian setelah itu, rasa sakit di perut dan pinggang semakin ekstrem. Saya baru sadar ternyata rasa mulas yang pertama saya rasakan tidak ada apa-apanya setelah saya merasakan sakit yang lebih menyakitkan lagi.

Malam itu saya sudah ditempatkan di kamar bersalin, dan saya tidak bisa tidur sama sekali. Rasa sakit luar biasa yang muncul setiap dua menit, membuat pinggang saya rasanya mau patah. Setiap gerakan saya menjadi salah. Tak ada pose yang membuat rasa sakitnya berkurang. Sekitar tengah malam, pembukaannya masih tingkat dua. Masih ada satu pembukaan lagi yang saya tunggu.

Beberapa kerabat dan keluarga datang menjenguk, saya sudah nggak ada tenaga untuk menyapa mereka. Hanya rintihan yang saya keluarkan. Sampai ruangan bersalin menjadi sunyi sepi, hanya ada suami di samping saya. Ia tak henti-henti mengusap panggul saya supaya bisa mengurangi rasa sakit sedikit saja.

Saking sakitnya, saya muntah-muntah sampai subuh. Padahal sudah tak ada yang bisa dikeluarkan lagi. Sampai bidan datang dan memberi saya infus obat mual. Pembukaan saya baru 2,5. Saya memaksa bidang untuk mengeluarkan balonnya saja dengan paksa, karena saya sudah tidak tahan lagi. Bidan pun menolak, katanya rasa sakitnya akan bertambah bila dikeluarkan paksa.

Jam dinding di depan saya terasa sangat lama. Pergerakan jarumnya setiap detik selalu kuawasi. Setiap dua menit rasa sakit luar biasa itu datang, dan saya hanya bisa tidur di saat sakitnya mereda. Gorden kamar bersalin saya tarik-tarik, dinding entah berapa kali saya tinju. Seprei saya garuk-garuk. Suara teriakan saya di tengah kesunyian memenuhi ruangan bersalin, pastilah bidang dan suster di ruangan lain juga mendengarnya.

Jam lima pagi, suami saya menelepon dokter Stella untuk bilang bahwa saya sudah nggak kuat lagi. Dokter bilang saya harus menunggu sebentar lagi, tahan lagi. Pagi atau siang ini saya pasti sudah melahirkan, begitu katanya.

Saya bilang saya sudah tidak kuat lagi kalau harus menunggu lebih lama. Rasanya sakit sekali, mungkin seperti mau mati. Benar-benar tidak tertahankan waktu itu. Saking sakitnya, air mata pun tidak bisa keluar lagi.

Jam enam tepat, saat bidan datang menengok, saya merasa ada dorongan dari dalam tubuh. Balonnya seperti berjalan ke arah vagina, lalu melompat keluar seperti bola ditendang.

Ah.. Seorang bayi mungil masih terbungkus rapi di dalam selaput perlahan-lahan keluar dari tubuh saya. Bocah itu tidur sembari meringkuk. Warna kulitnya transparan kemerahan, dan urat-urat halusnya masih nampak. Ia tidur nyenyak di antara himpitan ari-ari, mungkin ia kira itu bantal gulingnya.

Chaka tidak membuka mata. Ia terus tertidur dengan kedua mata yang seperti dipahat. Alis tipisnya, hidung, bibir, telinga, pusar, penis.. Semuanya lengkap, seperti habis dipahat oleh seorang seniman, tapi belum sempat dipoles lagi.

Hari itu saya tidak merasakan sedih atau depresi seperti yang saya bayangkan. Mungkin karena terlampau lelah dan sakit. Mama mertua saya meminta saya berjanji untuk tidak menangis lagi, karena Chaka sudah berbaur di alam semesta. Semakin saya menangis, Chaka pun akan sulit melepas saya.

Enam jam kemudian, saya diizinkan pulang. Tubuh saya cukup fit, tidak lemas seperti orang melahirkan. Saya malah mengurus sendiri administrasi dan pembayaran. Suami dan mertua saya pergi membawa Chaka untuk dimakamkan. Sedangkan saya dan mama pulang naik uber.

Lucunya, supir Uber menanyakan saya dengan polosnya, apakah saya ke rumah sakit untuk mengantar mama saya checkup. Dia terbengong-bengong saat saya bilang baru saja melahirkan. Hahahaha, dia bingung karena saya berjalan cepat seperti orang sehat.

Begitulah kira-kira cerita saya setelah melahirkan. Semua berlangsung cepat, asalkan kita bertekad untuk tidak mau terus terpuruk.

Sedih pasti. Saya pun menangis keesokan harinya, saat saya terbangun tidur dan mendapati tidak ada bayi lagi di dalam perut saya. Saya merasa kehilangan sekaligus bahagia. Chaka mendapat tempat yang baik di alam semesta, dan saya yakin ia akan terlahir kembali dengan kehidupan yang lebih bahagia sebagai manusia.

Mau tahu apa yang saya petik dari pengalaman ini? Apapun yang terjadi, percayalah dengan dokter yang bisa membuat kita nyaman, dan terus berdoa agar semua proses berjalan dengan lancar. Saya pun merasa beruntung karena melahirkan dengan rapi, dalam arti semua ari-ari keluar tanpa sisa di dalam rahim. Karena kalau ada sisa, saya harus dikuret lagi setelah melahirkan.

Setelah melahirkan, berusahalah untuk move on. Hmm, ya bagian ini memang sangat sulit. Apalagi saya harus menjalani chinese recovery; makan ayam arak, minum racikan herbal, tidak boleh keluar rumah dan keramas selama sebulan. Sudah menderita begitu, tidak ada bayinya.

Saya yang terbiasa bekerja dan pergi meeting sana-sini harus diam mendekam di rumah. Rasanya hampa sekali, dan setiap hari mengirimi SMS ke suami, bertanya jam berapa pulang ke rumah.

Kegiatan saya setiap hari adalah membaca-baca artikel medis mengenai sindrom polikistik yang Chaka alami. Lalu membaca forum soal ibu hamil, dan bagaimana cara supaya cepat hamil lagi. Ahhhh.. Sulit sekali masa-masa itu.

 

Tapi, semua ini memang harus dilalui. Tak ada penyebab secara medis ataupun keturunan. Memang ini karma hidup saya. Maka itu, saya akan lebih giat membuat karma baik, sehingga kehidupan saya pun lebih baik dengan kehamilan yang lancar di masa depan. Saya pun mulai bekerja lagi dengan normal. Mengurus usaha homebaked saya Oma Omi Recipe. Mengurus pekerjaan menulis saya lagi.

Lalu, tepat sebulan setelah saya recovery, saya terkena campak. Seminggu saya bedrest dengan wajah buruk rupa. Hahaha, ini risiko karena tidak betah dikarantina. Saya beberapa kali keluar rumah di masa recovery. Yah, ditertawakan saja ‘kesialan’ ini. Semua harus dibawa dengan happy.

Sekarang, saya sedang berlibur di rumah kakak saya di Jerman. Bersama suami, sebulan ini kami refreshing, keliling Eropa, sembari menjalani program hamil. Sepulang ini, sudah banyak pekerjaan menunggu saya.

Fase kehidupan tahun ini bagi saya ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Awalnya seperti ditembak bertubi-tubi dengan kesialan, dan setelah saya kuat menghadapinya, hal-hal yang membawa kebahagiaan pun datang untuk saya.

Siapa tahu, sepulang dari Eropa bulan Juni nanti, saya sudah isi lagi. We’ll see 🙂

Anywayyy… Saya berharap kisah ini dapat berguna untuk para perempuan yang mengalami masalah serupa (atau lainnya) selama mengandung. Don’t let this make you down. Lalui pelan-pelan bersama suami, maju terus dan hadapi dengan tenang. Tetap semangat, ya!

 

salam,

faye