Sepercik Cerita Kehamilan (bag.2)

 

Strong quote

Akhirnya saya berani melanjutkan menulis kisah kehamilan saya. Isinya tentu sangat berbeda dengan tulisan saya di Sepercik Cerita Kehamilan bagian satu. Berbeda kisah, berbeda suasana hati, berbeda hasil.

Saya menulis kisah ini semata-mata agar bisa menjadi informasi berguna dan membantu membangkitkan semangat para perempuan yang sedang hamil, berjuang untuk bayi mungil di perutnya, atau divonis dengan permasalahan serupa dengan saya. Biar mereka juga tahu, bahwa mereka tidak terpuruk sendirian, tapi ada orang lain yang merangkai kata-kata di sini, juga pernah kehilangan anaknya dan berada di titik terendah dalam hidupnya.

2 Januari 2016

Satu hari setelah saya menanam tekad dan harapan untuk sepanjang tahun 2016, saya malah disambar petir. Hari itu saya memeriksakan kandungan rutin, saat itu usia kandungan saya 14 minggu. Kemudian tampak di layar USG, air ketuban saya berkurang drastis. Air ketuban di bagian muka baby masih ada, tapi di bagian perut ke bawah semakin sedikit. Dokter kandungan saya di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, dr Stella Shirley Mansur, berasumsi saya dehidrasi dan menyarankan saya untuk banyak minum, paling sedikit dua liter per hari.

“Kalau nggak ada air ketuban, baby nggak bisa bergerak dan terhambat pertumbuhannya,tulangnya jadi kontraktur,” kata dr Stella. Mendengar kata ‘pertumbuhan terhambat’, saya mulai takut. Tapi katanya harus berpikir positif. Ok, saya coba untuk positive thinking.

Saat itu memang saya beranggapan saya dehidrasi, karena kelelahan bekerja dan kurang minum di bulan Desember sebelumnya. Sejak itu tak hanya dua liter air saya tenggak, tapi saya minum sekitar 4L air per hari. Saya juga aktif mencari informasi di internet soal pentingnya air ketuban untuk bayi, dan saya juga baru tahu bahwa air ketuban itu berasal dari pipis bayi.

11 Januari 2016

photo (1).JPG

Saya mempercepat waktu kontrol kandungan, karena rencananya tanggal 14 Januari saya akan terbang ke Makassar untuk menghadiri pernikahan kakak ipar saya. Dengan perasaan optimis (karena yakin air ketuban sudah banyak sekarang), saya siap di-USG. Dr Stella yang biasanya selalu ceria, ekspresinya agak tegang saat memeriksa saya. “Air ketuban kamu semakin sedikit, harus dirawat malam ini, Faye.”

Energi positif saya langsung susut ke titik nol. Niat ke Makassar hilang sudah. Saya harus dirawat, karena menurut dr Stella, ada kemungkinan saya menderita Antiphospholipid Syndrome (Autoimune atau Lupus) bawaan, sehingga antibodi tubuh saya kuat dan menyerang bayi. Itu baru kemungkinan pertama. Kemungkinan kedua adalah.. ginjal baby saya bermasalah, dan itu tidak ada pertolongannya.

Saat suami saya, Edwin, mendaftarkan kamar opname, saya sudah tidak bisa menahan tangis. Saya sedari kecil paling anti menangis depan umum, tapi saat itu tidak bisa ditahan lagi. Suami saya itu hanya bisa bilang agar saya tidak berpikir macam-macam dulu. Sekali lagi saya mencoba positif.

Begitu sampai di kamar, darah saya langsung diambil beberapa kali untuk beberapa pemeriksaan. Saya dirujuk ke dokter darah di RS yang sama, dr Cosphiadi. Hasil tes pertama menunjukkan darah saya kental, sehingga ada kemungkinan menderita autoimun. Kalau memang benar autoimun, saya harus disuntik di bagian perut setiap hari sampai bulan ke-8. Saya pikir, saya yang paling takut sama jarum suntik, lebih memilih autoimun, karena baby masih bisa diselamatkan. Tapi kalau ginjal baby yang bermasalah… Arrghhh.. (susah sekali buat berpikir positif saat itu).

Saya dan Edwin hanya bisa berdoa, membisikkan kata-kata cinta untuk baby. Keluarga sudah mulai khawatir, dan saya juga dibuat bosan dan stres menunggu sampai malam, sampai dilakukan USG 4D untuk melihat organ baby saya.

Akhirnya pada pk 20.30, saya diboyong dengan kursi roda menuju ruang dokter fetomaternal. Selama dokter melakukan USG, mimik wajahnya datar, kemudian berubah serius. Lalu ia memeriksa sambil satu tangannya memegang dagunya. Saya semakin gemetaran (ya, saya kalau stres bisa gemetaran hebat), ciut dan sedih saat itu, sambil menunggu dokternya membuka suara.

“Nggak ada arus darah ke ginjal baby. Kemungkinan besar ginjal bayinya disfungsi,” kata dokter.

Jdarr.

Saya hanya bisa melihat layar USG, dokter dan Edwin bergantian.

“Jadi nggak bisa diapa-apain ya, Dok?” saya sampai lupa Edwin atau saya yang bertanya.

“Ya, harus dilahirkan,” kata dokter lagi.

Dokter Stella tiba-tiba masuk ruangan, dan ikut bertanya-tanya ke dokter. Si dokter jadi agak ragu, dan meminta saya untuk USG 4D ulang tiga minggu lagi, agar masalahnya benar-benar jelas. Saya diminta balik ke kamar dengan kursi roda. Saya hanya bisa menatap dr Stella dengan memelas, “dokter Stella.. Ini bagaimana?”

“Tenang dulu. Ntar kita ngobrol di kamar ya.”

Begitu sampai kamar, air mata saya meluber.. Saya minta maaf sama baby, karena saya merasa sangat bersalah. Saya jadi menyalahkan diri saya, merasa bangsat sekali nggak bisa jaga baby saya sendiri. Edwin sudah tidak bisa meminta saya lagi berpikir positif. Karena saat itu saya merasa yang positif sama sekali tidak terjadi. Kami cuma bisa berdoa dan mengajak ngobrol baby, selagi masih bisa.

Sudah lama saya tidak menangis sampai tertidur seperti hari itu..

Lalu pukul dua pagi, dr Stella datang ke kamar dan membangunkan saya. Ia bilang masih agak sangsi dengan hasil USG 4D-nya, karena baby masih terlalu muda dan belum tentu ginjalnya bermasalah. Sebaiknya menunggu hasil autoimun saya.

Waktu itu saya diopname sampai tanggal 13 Januari. Salah satu teman saya yang menengok mengusulkan agar saya melakukan USG 4D dengan dokter Bambang Karsono, ketua ahli fetomaternal di Indonesia, yang praktek di RS YPK Mandiri.

Saya jadi ingat cerita teman saya yang lain, yang juga pernah memiliki baby gagal ginjal dalam kandungan. Ia pun memeriksakan kandungan ke dr Bambang.

Hari itu, saya mendaftar ke RS YPK melalui telepon, dan mendapat jadwal dengan dr Bambang paling cepat di tanggal 27 Januari.

Saya pun pulang ke rumah mertua saya dengan perasaan sangat pesimis, psikis lelah, dan fisik lemas. Saya hanya mau tidur dan tidur.

Beberapa hari kemudian, teman-teman saya datang menjenguk. Salah satunya adalah San, teman saya yang bayinya gagal ginjal dalam kandungan itu. Ia dan suaminnya menyemangati saya, bahwa saya tetap harus menjalankan hidup dan happy apapun yang terjadi. Bagaimanapun, saya tidak boleh membuat baby ini menyesal pernah hidup di rahim saya.

Teman-teman yang lain juga menyemangati. Bukan bilang harus banyak istirahat, tapi justru harus terus berkegiatan dan bersemangat. Keluarga, kerabat-kerabat saya dari bapak-bapak, ibu-ibu, tante-tante, sampai yang sebaya semua turut mendoakan saya. Mertua saya tak henti-hentinya bilang kalau bayi ini ada jodoh dengan kita, maka kondisinya harus sehat. Kita harus berdoa untuk yang terbaik bagi baby ini.

Depresi saya semakin menjadi-jadi. Menangis menjadi makanan sehari-hari saya yang tidak bisa dikontrol. Mandi sambil menangis, makan sambil menangis, baca buku sambil menangis, apapun sambil menangis. Saya merasa jadi orang paling idiot, lemah, cengeng, dan tidak layak menjadi ibu yang baik untuk baby saya.

Tapi layaknya ibu hamil lainnya, saya setiap detik menunggu first kick dari baby saya. Dalam sehari, bisa puluhan kali saya memegang perut dan berharap merasakan gerakan baby. Saat tidur terlelap, saya bisa bangun dalam sekejap untuk merasakan apakah ada tendangan, pukulan, atau gesekan kecil dari dalam perut. Saya berharap kesunyian tengah malam akan lebih membuat gerakan baby terasa.

Betapa bahagianya ketika dari beberapa sisi perut saya terasa getaran konstan selama beberapa detik, lalu menghilang, lalu muncul lagi. Kadang di sisi kiri, kanan, bawah, atas. Ah, apakah itu gerakan baby? Rasanya iya, si baby sudah bisa bergerak! Berarti, air ketubannya sudah banyak. Perasaan overjoyed ini saya ungkapkan pada keluarga, bahwa baby sudah bisa bergerak aktif. Entah karena saya yakin baby bergerak, atau karena berusaha menghibur keluarga dan suami yang mengharapkan kehadiran anggota keluarga baru.

Depresi saya berkurang, lalu sekejap muncul lagi. Mungkin ini yang disebut hormonal ibu hamil. Begitu perut terasa dicolek dari dalam, saya girang lagi. Lalu kembali menangis dan tangan saya sibuk membangunkan baby ketika ia kembali tidur.

Ternyata, hari-hari itulah masa terakhir saya mengharapkan gerakan baby.

22 Januari 2016

Pihak RS menelepon saya dan memberitahu bahwa hasil tes darah autoimun saya sudah keluar. Malam itu saya langsung mengambil hasilnya dan berkonsultasi dengan dr Cosphiadi. Hasilnya, darah saya semakin kental, tapi bukan autoimun atau lupus. Dokter bilang, darah saya kental tapi tidak ada sangkut pautnya dengan air ketuban.

Oke, perasaan negatif saya semakin menajam.

Kata Edwin, untungnya saya bukan autoimun, sehingga tidak perlu disuntik setiap hari.

Saya yang depresi melihat hal itu bukan keberuntungan, malah hal yang negatif. Saya bilang, “Harusnya aku autoimun, jadi aku bisa di-treat dan baby bisa ditolong.”

27 Januari 2016

Mama menemani saya ke dr Bambang. Edwin masih bekerja dan tidak keburu ke RS. Perasaan saya sempat marah sekali karena untuk urusan ini Edwin masih mementingkan pekerjaannya. Saya tutup teleponnya. Tapi muncul setitik kesadaran, saya tidak boleh begitu. Saya tidak boleh melimpahkan rasa depresi ke suami yang sedang bertanggung jawab dengan kliennya, pekerjaannya. Saya harus berani walau tidak ada suami saya di samping saya. Saya lantas mengirim SMS. Oke nggak apa-apa. Aku masuk ruangan dokter dulu ya.

Dokter Bambang dengan rambut putihnya tanpa banyak basa-basi melihat hasil USG 4D saya yang pertama.

“Ini kenapa berantakan gini hasilnya?”

“Iya Dok, karena nggak ada air ketuban jadi hasilnya nggak jelas.”

“Hmm, saya curiga benar-benar ginjal babynya yang bermasalah.”

Dokter Bambang mulai menempelkan alat USG di perut saya. Saya mendapati seorang bayi mungil, meringkuk di ruang sempit tanpa perlawanan.

“Wah, air ketubannya habis sekali.”

“Jadi, benar-benar karena ginjal baby ya Dok?”

“Ini organnya susah sekali dilihat, belum kelihatan ginjalnya.”

Dokter terus memeriksa dengan lama dan teliti. Sampai ia menemukan apa yang dicari.

Ini ginjalnya, ada beberapa kistik atau gelembung.”

“Kistik? Kista?”

“Iya, kista atau semacam gelembung. Jadi bayi nggak bisa pipis. Tangannya juga nekuk, kepalanya ketindih nggak bisa bergerak.”

“Tapi saya suka merasa ada tendangan dari dalam, Dok.”

“Mana mungkin, ini baby nggak bisa bergerak begini.”

“Jadi, Dok.. harus bagaimana?”

“Yang kamu tahu harus bagaimana?”

“Harus dilahirkan ya.. Dok..?”

“Iya, nggak ada cara lain. Harus diterminasi sesegera mungkin.”

“Kalau diisi air ketuban aja bagaimana, Dok?”

“Percuma, dua hari saja pasti habis lagi.”

“Apa sebabnya ginjal baby saya begini, Dok?”

“Ya, tidak ada sebabnya. Tidak perlu dicari juga.”

“Nanti kalau saya hamil lagi, apa bisa mengalami hal yang sama?”

“Tidak pernah ada kasus terulang. Coba lagi ya di kehamilan kedua.”

Saya membawa pulang hasil pemeriksaan USG 4D dari dr Bambang. Polycystic Bilateral Kidney Disease. Saya tidak bisa menangis, karena saya belum sendirian. Saya tidak mau menitikkan air mata depan mama saya. Jadi mama selalu menyangka saya cukup tegar.

Saya melaporkan hasilnya ke dr Stella melalui Whatsapp. Dan saya memutuskan untuk melahirkan secara normal tanggal 10 Februari, setelah Imlek. Setelah saya menyelesaikan banyak orderan kue Oma Omi.

Sebenarnya, saya mau lebih cepat melahirkan, supaya tidak berlarut-larut dirundung sedih dengan membawa nyawa anak sendiri di dalam tubuh saya yang harus ‘dibunuh’. Tapi saya harus berpikir panjang. Tidak mungkin saya meninggalkan pekerjaan saya. Bisa kacau semuanya. Jadilah saya bekerja dengan depresi yang semakin parah.

Saya tidak lagi mengharapkan gerakan baby. Mungkin yang selama ini saya rasakan gerakan bukan dari baby, tapi otot rahim dan perut saya yang kram.

Saya berpikir, bertanya-tanya dalam hati, dan sulit sekali untuk menerima kenyataan.

Kenapa orang-orang yang tidak menginginkan baby, malah mudah hamil dan babynya sehat?

Kenapa ada orang yang punya anak, tapi tidak mendidik anaknya dengan benar selayaknya orang tua?

Kenapa saya yang menjaga kandungan saya dengan baik, tapi bayi saya malah menderita?

Kenapa saya harus selalu mengalami kegagalan di setiap hal yang pertama kali saya lakukan?

Saya banyak sekali bertanya kenapa, kenapa, dan kenapa, dan terus membandingkan saya dengan orang lain. Selalu mencari alasan untuk membenci diri sendiri. Merasa diri saya yang paling terpuruk.

Hampir setiap malam saya bermimpi tentang bayi. Mimpi melahirkan dan punya bayi tembam, mimpi menggendong bayi, mimpi melahirkan, dan sebagainya.

Di hari-hari menuju melahirkan, saya juga aktif berkonsultasi dalam hal spiritual di vihara, dengan mas Rusdy Rukmarata.

Kalimat pertama yang saya lontarkan adalah “Aku merasa bersalah sama anakku.”

“Bayi di kandungan masih bertumbuh dengan naluri, bukan perasaan. Jadi, ia nggak merasakan sakit yang kamu takuti. Kalau ginjalnya nggak sempurna, berarti nalurinya juga nggak jalan dengan baik. Jadi kamu nggak perlu merasa bersalah.”

Seperti ada sebersit ketenangan dalam diri saya. Baby masih belum bisa merasakan sakit, jadi saya tidak perlu merasa bersalah.

Ya, saya yakin, kalau baby saya sudah bisa memilih, ia pasti memilih untuk kembali ke semesta secepatnya dan lahir kembali di masa depan dengan kehidupan lebih baik.

Mas Rusdy menekankan saya untuk percaya dengan dokter. Selanjutnya, jiwa baby saya harus didoakan supaya bisa terlahir kembali menjadi manusia seutuhnya yang lebih baik.

Sejak itu, saya tidak lagi sering menangis seperti biasanya. Saya justru mengajak ngobrol baby selagi masih ada waktu berdua, menulis surat untuk baby, sampai mencari nama baby dengan suami saya.

Akhirnya, dua hari sebelum jadwal melahirkan, kami memutuskan memberi kesayangan kami dengan nama  Chaka Issai Siswanto.

[Chaka = Kehidupan, Issai = Tidak Terbatas].

Kami berharap kehidupan Chaka tidak terbatas pada masa kali ini saja. Tapi Chaka akan terlahir kembali dengan kehidupan yang lebih baik, kondisi raga yang lebih baik, karma yang lebih baik, dan jodoh ibu yang lebih baik. Harapan kami itu menjadi doa saya setiap harinya, dan selalu saya jadikan bahan obrolan dengan Chaka.

Ah, ya..

Beberapa hari menjelang persalinan, ada satu kerabat saya, seorang ibu yang bekerja di laboratorium sebuah rumah sakit, menganggap tindakan terminasi yang akan saya lakukan adalah sebuah dosa besar. Ia menyarankan saya untuk mencari dokter lain untuk mengecek, atau cek ke rumah sakit di luar negeri.

Ia menganggap saya mudah menyerah dan konsultasi spiritual yang saya lakukan selama ini tidak dalam. Ia bilang tindakan terminasi bertentangan dengan pro life. Ia sampai meminta saya untuk bergabung dalam komunitas agamanya, agar saya mendapatkan pengetahuan spiritual.

Dalam hati saya tersenyum. Saya berterima kasih ia perhatian sama saya, tapi tidak ada orang yang berhak menilai saya mudah menyerah, kalau ia tidak tahu detail usaha apa yang saya lakukan untuk menyelamatkan baby saya.

(Sekian kisah saya sampai menjelang persalinan. Cerita saat melahirkan dan berada di antara hidup dan mati, akan saya tulis di Sepercik Cerita Kehamilan bagian 3)

— 

Hal-hal yang saya pelajari sampai titik ini:

  • Kita, siapapun, membutuhkan support system yang kuat. Di balik rasa kehilangan dan depresi yang saya alami, saya merasa benar-benar berterima kasih karena sekeliling saya tak henti menyemangati dan percaya bahwa saya bisa melewati ini semua dan bangkit lagi. Support system versi saya bisa datang dari keluarga, teman, saudara, mentor, pemimpin agama, sahabat, suami, bahkan anjing peliharaan. Pokoknya, siapapun yang kita rasa tulus terhadap kita dan yang memiliki cara hidupnya bisa kita jadikan panutan. Ayo, jangan takut untuk berbagi masalah kita dengan orang-orang yang kita percaya bisa menyemangati, bukan mengasihani kita.
  • Carilah dokter kandungan yang memiliki chemistry dengan kita. Dokter hebat banyak, tapi dokter yang benar-benar peduli dan siap 24/7 jarang sekali. Dokter kandungan saya selalu memberikan nomor Whatsapp-nya kepada pasien, sehingga pasien merasa tenang karena selalu bisa bertanya kepada dokter kapan saja. Dokter saya selalu mengangkat telepon subuh-subuh dan menjawab Whatsapp pasien walaupun saat ia merayakan Natal! (nanti saya ceritakan lebih lanjut di Sepercik Cerita Kehamilan bag.3)
  • Berpikir positif itu perlu, bukan hanya untuk mengharapkan hal positif datang. Tapi setidaknya mengurangi rasa depresi. Saya pun sulit sekali untuk berpikir positif. Saya selalu berpikir negatif untuk mempersiapkan diri saya agar tidak kaget saat menerima hasil akhir. Tapi, saya sadar bahwa berpikir negatif atau positif tidak akan mengubah hasilnya tiba-tiba seperti magic di buku cerita anak-anak. Jadi, untuk apa mengisi hari-hari dengan pikiran negatif?
  • Kita tidak boleh mengasihani diri sendiri terus-menerus. Lama-lama, kita jadi ratu lebay. Depresi boleh, tapi harus ditargetkan kapan mau selesai depresinya. Karena itu, butuh keberadaan orang-orang yang mengingatkan kita untuk bangkit. Saya pun tidak menyangka bisa melewati hari-hari lebih baik dari pada yang saya kira. Bukan karena saya mudah move on, tapi saya selalu bertekad dalam hati untuk bangkit.
  • Mendengarkan orang lain itu baik, tapi kita harus menyaring sebagian yang tidak perlu untuk kita. Seperti yang saya sebutkan di atas. Kalau saja saya mendengarkan dan menjalankan saran seorang ibu yang meminta saya mengecek kandungan ke dokter lain, sampai sekarang saya masih depresi dan tidak bisa menerima kenyataan bahwa baby saya tidak bisa diselamatkan.
  • Percayalah, tidak ada seorang pun yang berhak menilai kita mudah menyerah hanya dengan melihat keputusan final kita. Kita yang menjalankan prosesnya, hati kita yang tahu mana yang terbaik untuk baby dan semuanya.

***