Pijat Sakti Sumirah

41555 Screen Shot 2015-09-10 at 9.42.49 AM Screen Shot 2015-09-10 at 9.43.15 AM

Pijat Sakti Sumirah

(dimuat di majalah Esquire Indonesia, Agustus 2015)

 

Di mana-mana aku menemukan tulisan ‘PIJAT SAKTI IBU SUMIRAH’ beserta nomor telepon yang bisa dihubungi. Awalnya aku melihatnya di selebaran kertas yang ditempel di pohon dan tembok gedung, dan sewajarnya kubiarkan saja. Siapa peduli dengan jari sakti seorang ibu-ibu?

Hari-hari sampai bulan-bulan berikutnya aku semakin sering melihat iklan selebaran pijat itu. Entah di papan info supermarket, apartemen, bahkan sampai menjadi perbincangan dua lelaki muda yang tampak seperti pengusaha saat aku tak sengaja mencuri dengar di sebuah kafe kopi. Mereka tak berhenti memuji kehebatan ibu Sumirah. Samar-samar kudengar seorang dari mereka berkomentar seperti ini: “Baru pertama kalinya pijatan perempuan sedahsyat dia.” Kemudian dibalas oleh pengusaha satunya, “Panjang sekali antrean untuk dipijat Ibu Sumirah, bisa-bisa baru sebulan kemudian dapat gilirannya. Tapi sekalinya dipijat, masalah hidup kita seketika hilang.”

Dalam hati aku berpikir, hebat betul Ibu Sumirah itu kalau memang benar sampai banyak orang mengantre agar bisa dipijat olehnya. Pakai kekuatan apa pula sampai para pelanggan bisa keluar dari masalah kehidupan?

Selagi aku melamun memikirkan sosok Ibu Sumirah, kedua pengusaha itu beranjak dan menyodorkanku sebuah kertas. Isinya ya itu, iklan Pijat Sakti Ibu Sumirah.

Kuterima saja kertasnya dengan pandangan bingung. Lalu si lelaki bilang, “Saya hanya berbagi sedikit kesaksian. Kalau kamu mau bahagia, kamu layak dipijat oleh Ibu Sumirah,” ucapnya. Setelah itu, mereka berdua pergi. Apa-apaan ini? Pikirku sembari memelototi kertas yang tampak penuh maksiat itu.

Aku memilih pulang berjalan kaki dari kedai kopi, sebab letaknya tidak jauh dari kompleks rumahku. Biasanya aku naik sepeda motorku atau angkot (yang pintunya dipenuhi tempelan iklan ‘PIJAT SAKTI IBU SUMIRAH’, tumpang tindih dengan iklan kursus jahit Juliana Jaya), tapi kali ini aku memilih berjalan santai saja tanpa ada alasan khusus.

Ketika aku memasuki kompleks rumahku, seperti biasanya, aku menyapa orang hansip yang berjaga di depan pos sambil mengelap koleksi cincin batunya.

“Pak Ucup, tumben hari ini tidak mengelap cincin,” sapaku.

“Iya nih, Mas Toni. Hari ini saya sibuk datang ke rumah-rumah untuk beritahu bahwa malam ini ada pertemuan warga di rumah pak RT. Mas Toni ikutan juga, kan?”

“Oh begitu. Mau mbahas apa di rumah pak RT?”

Ndak tahu juga, Pak. Katanya ada program kompleks baru apa gitulah saya juga ndak ngerti.”

“Siap, Pak Ucup. Nanti saya datang.”

Lamunan saya tentang Ibu Sumirah hari itu ternyata sangat memakan waktu, tak terasa sudah hampir jam tujuh malam dan harus segera berangkat ke rumah Pak RT. Sesampainya di sana, para warga sudah duduk melingkar beralaskan tikar sambil mengunyah kuaci yang disiapkan oleh istri Pak RT.

“Pak RT, malam ini mau membicarakan apa?” tanya Ibu Susi, seorang janda beranak satu yang tinggal di ujung gang.

“Baik kalau begitu saya buka saja rapat ini. Terima kasih bapak-bapak ibu-ibu sudah bersedia datang ke sini, tentu kalau tidak penting maka tidak akan saya adakan rapat ini.” Aku sudah tahu betul tabiat Pak RT ini, kalau berbicara sangat bertele-tele.

“Saya mengerti bapak ibu sekalian sangat sibuk setiap hari, apalagi meghadapi kemacetan ibukota. Maka itu saya sangat berterima kasih bapak ibu rela menyediakan waktu untuk hadir di pertemuan kita ini,” lanjut pak RT.

Semua warga sudah mulai gemas, tidak sabar mau memotong sambutannya. Tapi sebagai warga yang baik, kami semua berusaha khusuk mendengarkan.

“Maka dari itu, saya mengumpulkan bapak ibu di sini untuk membahas hal yang penting sekali bagi kehidupan seluruh warga RT tigabelas dan RW nol nol enam. Mungkin bapak ibu cukup bertanya-tanya tentang topik kita malam ini..”

“Betul pak, kami bertanya-tanya sekali. Jadi apakah kita akan membicarakan strategi mengurangi kasus maling di kompleks ini?” Akhirnya Rizal, tetanggaku yang pernah mengalami kecopetan di depan rumahnya membuka suara. Rizal memang tipe lelaki yang tidak sabar dan selalu sinis dengan Pak RT.

“Oh ya, betul sekali, dik Rizal. Tentu kita akan membicarakan strategi tersebut. Tapi ada satu hal yang lebih penting lagi untuk dibahas,” kata Pak RT.

“Soal lomba tujuh belasan ya, pak?”

“Atau kenaikan uang bulanan sampah dan keamanan?”

“Ayo pak, cepat sedikit bicaranya. Saya harus menyusui anak malam ini.”

Akhirnya warga tak ragu-ragu menembak langsung si pak RT.

“Baik.. Baik.. Semua itu betul, wong saya ini pak RT, pasti saya akan membahas semua program kompleks ini. Tapi sebelumnya, saya mau memberitahu informasi ini.”

Pak RT mengeluarkan beberapa lembar kertas. Kemudian ia perlihatkan ke para warga. PIJAT SAKTI IBU SUMIRAH.

Astaganaga. Pak RT juga kena virus Sumirah.

“Bapak ibu sekompleks yang saya hormati dan cintai, saya hanya berbagi kesaksian sedikit yang pastinya amat sangat super berguna. Ini Ibu Sumirah ahli pijat yang dapat mengobati semua segala jenis sakit badan dan menjadi tempat solusi permasalahan hidup bapak ibu sekalian yang amat sangat saya hormati dan cintai.”

Semua warga, termasuk aku, bertukar pandang satu sama lain.

“Pak, apa-apaan ini pertemuan warga saya kira sepenting apa,” ujar Ibu Susi disusul dengan dengusan dari hidungnya.

“Tenang, Bu. Saya tidak bohong belaka, tanyakan pada seluruh warga kompleks sebelah tentang Ibu Sumirah. Mereka semua sudah merasakan pijatannya, dan hasilnya tak ada lagi aksi maling di seluruh rumah.”

“Bisa mengurangi kesedihan setelah bercerai juga, Pak?” tanya Ibu Susi menyindir.

“Oh iya, betul Bu. Warga kompleks sebelah buktinya bisa tertawa-tawa, padahal baru bercerai seminggu yang lalu,” jawab Pak RT penuh percaya diri.

Ibu Susi baru mulai melunak dan tertarik. Begitu juga warga yang lain mulai antusias karena mendengar kesaksian pak RT.

“Memang bagaimana cara Ibu Sumirah memijat sampai bisa sakti begitu, pak? Apa semacam pijat plus-plus begitu?” kali ini yang menyambar adalah Pak Ucup.

Huss, Ibu Sumirah bukan pemijat plus-plus. Pokoknya lebih sakti dari plus-plus. Saya tidak boleh menyebarkan metodenya, karena pengalaman yang didapat setiap pelanggan akan berbeda,” kata pak RT. Sebagian wajah lelaki menjadi lesu karena ternyata bukan plus-plus.

“Jadi kalau kita mau dipijat sama Ibu Sumirah, tinggal menghubungi ke nomor telepon yang ada di iklan saja?” tanya warga yang lain.

“Ya, nanti yang mengangkat telepon adalah asistennya. Tapi sebaiknya bapak ibu menyebut nama saya ketika mendaftar, karena Ibu Sumirah akan keluar kesaktiannya kalau ia tahu siapa yang mengenalkannya pada bapak ibu. Tapi kita harus sabar menunggu giliran, karena banyak sekali yang mendaftar untuk dipijat Ibu Sumirah.”

Setelah sesi tanya jawab seputar pijatan Ibu Sumirah berlangsung kurang lebih satu setengah jam, pak RT menguap dan siap menutup rapat.

“Baiklah bapak ibu sekalian, dengan begini saya tutup saja pertemuan malam kita ini. Terima kasih sekali lagi telah meluangkan waktu..”

Aku yang kali ini memotongnya. “Pak RT, jadi kapan kita membahas strategi maling dan persiapan tujuh belasan?”

“Oh ya ya betul. Menurut saya, setelah bapak ibu sekalian sudah merasakan dipijat oleh Ibu Sumirah, saya rasa masalah maling dan persiapan tujuh belasan semuanya bisa terselesaikan dengan sendirinya..” ucapnya dengan wajah bijak dan berusaha menahan kantuk. Semua warga pun dibubarkan oleh pak RT.

Jadi begitu saja pertemuan warga kompleks yang penting itu. Aku pulang menggenggam kertas iklan pijat dari pak RT dan penuh kebingungan.

Sebelum tidur, aku berencana membuktikan kesaktian Ibu Sumirah yang dimaksud. Aku akan meneleponnya dan mendaftar untuk dipijat.

Tepat tiga puluh hari kemudian, aku dihubungi oleh asisten Ibu Sumirah. Katanya, sore ini giliranku tiba untuk dipijat. Kemudian ia memberitahukan alamat lengkap tempat praktek pijatnya. Di belakang stasiun Sudirman, katanya.

Segera aku di akntor beraksi pura-pura sakit sehingga harus pulang lebih cepat untuk ke dokter. Aku tancap gas motor menuju rumah Ibu Sumirah dengan rasa penasaran tinggi sampai ke ubun-ubun. Dalam hati aku berharap semoga setelah dipijat aku akan segera mengakhiri hidup jomblo.

Alamat yang diberikan mengacu ke sebuah rumah sederhana yang tertutup dan gelap, seperti tidak ada penghuninya. Akupun menjadi bergidik ngeri. Jangan-jangan Ibu Sumirah itu adalah arwah penunggu rumah ini.

Sebelum aku memutuskan pergi dari sana, kulihat seorang perempuan muda sekitar duapuluh lima tahun keluar dari rumah itu. Rambutnya diikat dan terlihat sedikit berantakan, dan aku berasumsi gadis itu habis dipijat oleh Ibu Sumirah. Akupun memutuskan untuk masuk ke dalam rumah itu.

Dalam rumahnya tak kalah gelap dengan suasana luarnya. Di dalamnya hanya ada sebuah meja pendaftaran dan kursi, di mana seorang perempuan tua duduk di sana. Itu pasti asisten Ibu Sumirah, ucapku dalam hati.

“Kamu Nak Toni ya?” ucap si ibu. Akupun mengangguk. “Silakan masuk ke kamar, Ibu Sumirah sudah menunggumu.

Jantungku berdebar-debar ketika melangkah menuju kamar. Seperti apa sosok Ibu Sumirah? Kenapa orang-orang tidak pernah memberitahukanku bahwa rumah Ibu Sumirah horor begini? Ah sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Aku sudah terlanjur datang ke sini.

Kubuka pintu kamar, lalu kulihat ada sebuah kasur di lantai dan seorang perempuan berambut putih panjang duduk bersila di samping kasur. Matanya tertutup dan kedua telapak tangannya menyatu di depan dada, seperti bersemedi.

“Buka bajumu,” ucap Ibu Sumirah tanpa membuka mata sama sekali.

Aku menurut saja. Sebab nada bicara Ibu Sumirah lebih seperti memerintah.

“Celana juga,” gumamnya.

Aku pun menurutinya. Ketika aku hendak membuka celana dalam, ia mencegah. “Yang dalam tidak perlu.” Ah, leganya aku.

“Sekarang, tengkurap di kasur,” perintahnya lagi.

Aku hanya bisa tengkurap dan meneggelamkan wajah di bantal, tidak berani menengok ke belakang. Kemudian tak lama kemudian, aku merasakan baluran minytak dan pijatan tangan Ibu Sumirah menjalari punggungku. Lumayan, tenaganya cukup kuat untuk standar perempuan.

Selama dipijat, aku tak merasakan keanehan yang terjadi. Teknik pijatannya mirip dengan tukang pijat pada umumnya. Seluruh tubuhku diurut, kecuali bagian tubuhku yang sensitif. Tentu saja, ia bukan pemijat plus-plus.

Setelah satu jam, Ibu Sumirah memintaku untuk duduk dan kembali memakai pakaianku. Ia pun kembali duduk bersila di depanku.

“Bagaimana, sudah lebih enak badannya?”

“Lumayan, jadi jauh lebih enteng,” jawabku jujur.

“Bagus.”

Aku memberanikan diri bertanya. “Kata orang-orang, Ibu Sumirah dapat membantu mencari solusi dari masalah kehidupan. Apa betul?”

Ibu Sumirah terkekeh. “Betul sekali. Apa masalahmu, Nak?”

“Saya.. Saya tidak punya pacar, Bu,” ucapku malu-malu.

“Kenapa orang seganteng kamu tidak punya pacar?”

“Saya sering sekali menyatakan cinta pada perempuan, tapi lima tahun terakhir ini mereka selalu menolak saya. Saya tidak tahu penyebabnya.”

Hmmm…” Matanya menerawang memperhatikan wajahku. “Kalau saya lihat garis wajahmu, penyebabnya adalah karena kamu kurang uang. Mereka tidak mau sama kamu karena kamu kurang kaya.”

“Bisa jadi, Bu. Perempuan zaman sekarang materialistis,” ucapku.

“Persoalanmu mudah. Kamu akan saya beri sebuah posisi terhormat, menjadi seorang agen rahasia PIJAT SAKTI IBU SUMIRAH.”

“Agen rahasia? Benar bisa membuat saya kaya?”

“Tentu, jaminan mutu. Jadi syaratnya, kamu harus mengajak orang untuk menjadi pelanggan Ibu Sumirah, kemudian kamu akan mendapat komisi menarik atas setiap pelanggan yang datang menyebut namamu. Hidup penuh perjuangan, Nak Toni,” ucapnya sembari memegang bahuku.

“Ini saya seperti dijadikan sales marketing ya, Bu?”

Oh, tidak. Istilah sales marketing itu haram buat saya. Agen rahasia ini bukan bertugas untuk berjualan, tapi hanya menyebarkan kesaksian sebanyak-banyaknya bahwa dengan dipijat oleh Ibu Sumirah, maka persoalan hidup akan teratasi. Kamu pun akan cepat kaya bila mendapat komisi, Nak Toni. Dengan begitu, para perempuan cantik akan mengejarmu karena kamu sudah kaya.”

Senyumku mengembang. Rasanya cukup menjanjikan prospek dari Ibu Sumirah ini. Kalau aku rajin menyebarkan kesaksian, tentu aku dapat banyak komisi. Kalau aku punya banyak uang, tak perlu memusingkan lagi status jombloku.

“Baik, Ibu Sumirah. Saya terima tawarannya. Terima kasih banyak.”

Ibu Sumirah tersenyum. Ia kemudian mengambil segepok kertas bertuliskan PIJAT SAKTI IBU SUMIRAH. “Tuliskan namamu di kertas ini, jadi orang yang datang ke sini dapat menyebut namamu,” ucapnya.

Aku menerimanya dengan kegirangan.

“Omong-omong Bu, berapa biaya pijat yang harus kubayar?”

“Seperti yang saya tadi bilang, konsep jasa pijatan saya ini bukan untuk dijual. Jadi, kamu bebas membayar berapapun semampunya. Yang pasti, semakin tinggi yang kamu bayarkan, semakin besar kesempatanmu untuk menjadi kaya raya,” Ibu Sumirah tersenyum bijak sambil (lagi-lagi) memegang bahuku, pertanda memberiku kepercayaan.

Kurogoh kantong celanaku. Ada dua lembar seratus ribuan terakhir. Kuberikan semuanya ke Ibu Sumirah, tapi ia menyuruhku memasukkan uangnya ke dalam celengan ayam jago di meja sebelah kasur. “Ayam ini gaib. Ia akan menghitung jumlah uangmu dan memberimu rezeki,” kata Ibu Sumirah seraya mengelus celengan ayamnya.

Aku beranjak berdiri dan mengucap banyak terima kasih pada Ibu Sumirah. Dalam hati aku bertekad akan menyebarkan kesaksian pijat sakti ini kepada semua orang, termasuk bos dan teman-teman di kantor.

***

Catatan dari penulis: Menurut ‘penerawangan’ penulis, Ibu Sumirah merupakan penggiat MLM yang terbilang sukses, karena ia bisa mempengaruhi orang-orang untuk menjadi agen-agennya (dalam bahasa MLM disebut kaki-kaki) dalam menyebarkan kesaksian (bukan berjualan) Pijat Sakti Ibu Sumirah. J

Leave a comment